Dalam
dunia kesusastraan dunia nama J.K Rowlilng—penulis buku Harry Potter—menjadi
contoh sukses seorang penulis. Harta, popularitas dan semua yang didapatnya saat
ini tidak terbantahkan lagi adalah berkat ketekunannya mendalami dunia menulis.
J.K Rowling adalah refleksi kejayaan penulis dari luar.
Sejarah
kesusastraan Indonesia pun tidak kalah, meski tak setenar J.K Rowling tercatat beberapa
penulis telah sukses menunjukkan kualitas karyanya, dengan diterjemahkannya karya
mereka ke dalam beberapa bahasa asing, seperti Pramodiya Ananta Toer, Ahmad
Tohari, Eka Kurniawan, Habiburrahman El-shirazy atau Andrea Hirata.
Selain mendatangkan pundi-pundi materi dan popularitas, menulis
adalah cara ampuh menghindari seseorang dari kepikunan di usia senja. Dengan menulis kita bisa mentransfer berbagai
ilmu pengetahuan dan gagasan dalam pikiran kita. Dunia tulis-menulis itu unik, tidak
hanya bermanfaat untuk penulisnya, melainkan juga untuk pembacanya. Dengan
sebuah tulisan seseorang bisa patah semangat, tapi dengan tulisan pula seseorang
yang sedang terpuruk akan kembali bergairah dan menggebu-begu ketika membaca
bacaan yang tepat. Karena tulisan memang mempunyai daya magis yang mampu
mempengaruhi pembacanya.
Keistimewaan lainnya dalam menulis adalah profesi penulis tidak diskriminatif.
Menjadi penulis tidak ditentukan dari tinggi badan, kesempurnaan fisik maupun
kekuatan. Menulis bisa dilakukan oleh orang-orang dengan pelbagai latar
belakang sosial. Menjadi penulis tidak pula harus menyerahkan surat lamaran
dengan portofolio bermacam-macam gelar akademisi, cukup dengan karya. Dalam
sebuah seminar, Gol A Gong—sastrawan senior di Banten—pernah mengatakan bahwa, menjadi
penulis sastra tidak kalah gengsinya dengan ilmuwan atau akademisi. Penulis sastra
sama terhormatnya dengan ilmuwan yang menulis karya-karya ilmiah. Mereka
sama-sama melakukan riset dan banyak membaca buku. Karya sastra yang baik dan bagus
tidak dibuat dengan hanya duduk di depan komputer lalu berkhayal, melainkan
dengan riset. Latar belakang tokoh, sosiologi dan kebudayaan pada setting
lokasi dan lainnya mestilah diteliti dengan cermat, kemudian barulah ditambah
dengan imajinasi penulisnya. Yang membedakan penulis sastra dan ilmuwan hanyalah
dalam hal teknis menulisnya saja.
Bagi umat islam urgensinya menulis bahkan dituliskan dalam beberapa
ayat Al-Quran. Diantaranya, Allah Swt berfirman: “Bacalah, dan Tuhanmulah
yang Maha pemurah, yang mengajarkan manusia dengan pena (menulis), mengajarkan
manusia apa yang belum diketahuinya.” (QS: Al-alaq 3-5). Imam Al-Ghazali juga
pernah mengingatkan kita, “jika kamu bukan anak raja atau bukan anak ulama,
maka menulislah!” Banten sebagai salah satu provinsi religius dengan mayoritas
pemeluk agama islam seharusnya menanamkan rasa cinta terhadap menulis. Dan
pemerintah mestinya menjadi pemeran utama dalam menggawangi terbentuknya budaya
menulis di Banten.
Peran
pemerintah saat ini dibutuhkan untuk mendorong media massa menghadirkan kembali
ruang bagi penulis. Hilangnya kolom sastra di media massa Banten pada dua-tiga
tahun terakhir ini sedikit mempengaruhi kesusastraan di Banten. Para penulis
kehilangan gairah karena tidak adanya ruang eksistensi bagi mereka untuk
berkarya. Padahal peran kolom sastra—terutama bagi para penulis pemula—sangatlah
krusial. Penulis pemula butuh kolom sastra di media massa lokal sebagai media
pembentukan jati diri dan berlatih untuk senajutnya ke tahap yang lebih tinggi
yaitu di media massa nasional dan media penerbitan. Maka bisa dikatakan bahwa
Keberadaan kolom sastra di media massa sangatlah urgen.
Selain krusial kolom sastra tentunya juga esensial sebab kehadirannya
di media massa turut membantu program pemerintah dalam meningkatkan minat baca.
Media massa sangat potensial untuk memantik minat baca karena sifatnya yang
informatif dan selalu up to date.
Dengan membaca sastra mungkin kita tidak akan pintar secara
akademik, tapi melalui sastra kita bisa belajar cara menyikapi kehidupan. Selain
memberi motivasi, sastra juga mampu menumbuhkan budi pekerti, memberikan pelajaran
pada realita kehidupan untuk lebih bijak menyelesaikan masalah melalui
kisah-kisah tokoh dalam novel atau cerpen. Pembaca dilatih untuk memperhalus
perasaan, lebih peka dan responsif terhadap dinamika dalam kehidupan. Selain itu, karya sastra pun memberikan kegembiraan
dan kepuasan batin, jadi hiburan penghilang stress. Tidak
mengherankan jika Christopher Morley—penulis dari Amerika Serikat—mengatakan
“ketika Anda menjaual sebuah buku (sastra) pada seseorang, Anda tidak hanya
menjual sebuah benda seberat 12 ons yang terdiri atas kertas, tinta dan lem.
Tapi Anda telah menjual kehidupan baru untuknya.” Jadi, para pemilik media
jangan takut akan kehilangan pembacanya dengan menyediakan kolom sastra.
Pemerintah
dan pemilik media harus berupaya menyediakan kolom sastra di media massa, agar
ruang berekspresi dan berkreativitas makin beragam, juga makin terangnya
kesusastraan di Banten. Sekali lagi, itu karena media massa mempunyai peranan
penting sebagai fasilitator dalam mendukung perkembangan karya sastra. Melalui
media massa karya sastra dapat dinikmati, diapresiasi dan dikritik oleh
khalayak pembaca. Itu adalah salah satu langkah agar terus bisa menerangi
kesusastraan di Banten. Bukan tidak mungkin kelak akan bermunculan sastrawan
dari Banten yang mampu menyamai bahkan melampaui pencapaian yang sudah di
torehkan Pramodiya Ananta Toer, Ahmad Tohari, Eka Kurniawan, Habiburrahman
El-shirazy, Andrea Hirata atau bahkan J.K Rowling. Semoga!
Kabar Banten, 03 September 2016
Dari awal saya terganggu sama penyebutan J.K Rolling. Yang benar itu J.K Rowling, bro.
BalasHapusSukseslah! Hidup sastra di Banten!
Ya.. makasih, Om masukannya.... sudah saya benerin...
BalasHapus