Wilujeng Sumping. Terima kasih sudah mampir ke Blog ini. Blog ini hanya untuk belajar menulis. Silahkan berikan komentar jika senang dengan isi Blog ini !

Post Page Advertisement [Top]

Di Bawah Pohon Kersen
Cerpen Rudi Rustiadi

Kusibakkan tirai jendela sedikit. Citra abah muncul dalam pandangan. Ia menyilangkan kaki di atas lincak. Matanya tajam dan awas mendelik murid-muridnya berlatih. Sesekali abah memberikan aba-aba sembari menendang kaki muridnya jika posisi kuda-kudanya tidak sigap menerima serangan.
Sekedip kemudian abah membakar ujung kreteknya. Sececah cahaya muncul, kumis tebal dan raut wajah penuh ketegasan dengan garis rahang kokoh samar terlihat di kegelapan, kemudian kembali lesap. Paras yang melahirkan gidik dan ciut nyali pada setiap tengkuk orang yang melihatnya. Paras itu kembali hadir dalam remang kemerahan bila abah menghisap kereteknya. Paras yang mengingatkanku pada satu malam.
***
Malam nahas yang kacau. Suara vas pecah memutus tidurku. Aku tergegau. Di ambang pintu kamarku kulihat abah menuding-nuding wajah ibu yang basah oleh simbah airmatanya.
“Pergi!” Laung abah.
Serta-merta airmataku ikut buyar. Aku rengek meminta ikut dengan ibu tapi abah menahanku. Tangan kiriku ditarik ibu sedang lainya dalam genggaman abah. Ia amat kalap, tonus rahangnya tertarik, nadi di lehernya menonjol, matanya nyalang memerah. Tangan abah mengayun deras ke pipi ibu lalu mendorongnya hingga tersungkur. Aku gidik menyaksikannya. Ibu meringis memegangi wajah manainya.
Aku berlari medekali ibu, tapi sekali lagi abah menghalangiku. Aku memaksa. Sial menjadi temanku malam itu, telapak tangan pejal abah mendarat kencang di wajahku. Ibu pergi tapi amukan abah tak kunjung redam. Abah menyambar bingkai di atas lemari lalu membantingnya. Sibiranya burai berserakan. Aku masuk ke kamar, tersedu-sedan di balik pintu. Malam itu aku menampung berlimpah amarah. Aku dengki dengan pria yang sejak kecil kupanggil abah itu. Aku tak lagi mau belajar catrok, totog atau seliwa. Tak lagi manut. Membangkang semua perintahnya. Di rumah, kami jarang bertegur sapa. Aku serupa madi kesepian yang setiap hari memintal angan agar ibu kembali, menahan renjana padanya. Aku rindu bermanja-manja di pangkuannya sembari memainkan landang sebesar biji jagung yang menyembul di bawah rahang kanannya.
Pernah terkelebat dalam otakku untuk mengakhiri hidup abah, menusuknya dengan belati, tapi hasrat itu urung kupenuhi, sepertinya akan menajdi hal yang percuma karena abah punya ilmu jaduk. Seringkali kulihat abah dan teman-temanya berlatih, menohokkan besi runcing di perutnya, menetak tangannya dengan golok, atau berjalan telanjang kaki di atas bara api maupun beling. Benda-benda itu tak sedikitpun menciderinya, menggores kulitnya pun tidak.
Satu hari abah pernah menuturkan perihal kekalutannya malam itu. Abah berdalih yang dia lakukan itu untuk kebaikanku dan kehormatannya. Tapi aku memilih untuk tidak mempercayainya. Mana mungkin berpisah dengan ibu baik untukku. Apalagi abah mengusirnya dengan alasan hanya karena ibu pulang larut.
Kenangan itulah yang saat ini membuatku berani melanggar aturannya, juga membangkang semua titahnya. Meski begitu perasaan takut nyalar menyerangku tiap kali melawan kehendak Abah. Tapi malam ini aku benar-benar mesti pergi dari rumah, alasannya bukan untuk melanggar perintah Abah, melainkan untuk melihat Jeny.
Aku harus segera keluar. Di persimpangan jalan aku sudah dinanti sobatku, Jhon, murid alihan dari Jakarta, rekan sekelasku, teman yang berbeda juga unik.  
Saat pertama kali diperkenalkan di depan kelas enam bulan silam, Jhon memang lain. Tidak ada satu siswa lain yang sama dengan penampilannya. Seragam Jhon dikeluarkan, bibirnya hitam, rambutnya gondrong berantakan. Setelah Pak Sueb menyuruhnya duduk di sampingku, aku semakin yakin bahwa Jhon berbeda. Kulihat tiga lubang halus pada daun telinganya, laiknya anak perempuan sedang mencopot antingnya.
Satu pekan Jhon di sekolah, siswa-siswi lain giat membincangkannya. Di kantin, Enis, Siska, Dewi juga Eha mengatakan Jhon itu mantan brandal, pemeras, banyak juga mulut lain yang mengejek Jhon. Mereka juga acap kali menatap Jhon dengan pandangan tak ramah.
Aku juga pernah tidak sengaja mendengar Darno, Ovan dan Rusly memperdebatkan perihal pekerjaan orangtua Jhon di toilet sekolah.
“Ayah Jhon itu pengedar,” ungkap Darno.
“Bukan, bapaknya itu bajul,” sela Ovan.
“Lu, semua salah, babenya itu germo,” tukas Rusly, menutup diskusi mereka.
Aku pernah memberitahu Jhon tentang itu. Tapi ia tidak ambil pusing. “Mereka cuma angin,” katanya.
Jhon sama seperiku, Jhon tidak punya ibu. Jhon jugalah yang mengenalkanku tentang Jeny. Masih lekat dalam ingatan tiga bulan silam saat kami bolos untuk ke bioskop, Jhon merisik di telingaku. “Kau harus datang ke rumahku! Ada mawar cantik di sebelah rumahku.”
Ajakannya kubiarkan dingin. Jhon tetap gigih merayuku untuk datang ke rumahnya. “Aku tidak suka mawar,” kutolak.
“Ini mawar yang beda. Kau pasti akan suka. Tidak akan mungin kaukecewa atau menyesal setelah datang ke rumahku dan melihatnya,” Jhon meyakinkan.
“Baiklah,” anggukku kemudian. Jhon memang pandai membuatku penasaran.
Keesokan paginya sebelun ke sekolah, aku menjemput Jhon ke rumahnya. Begitu melihat kemunculanku dari balik gerbang, Jhon langsung mengajakku ke samping rumahnya. Sepi. Sama sepertiku Jhon hanya tinggal dengan bapaknya yang katanya sekarang pulas seusai semalam bekerja.
Di sayap kiri rumahnya, pada pagar kayu kusam yang membatasi rumahnya dengan rumah Jeny terselip lubang sebesar ibu jari yang sengaja Jhon ciptakan. Dari lubang itu kami bisa melihat Jeny. Aku memejamkan mata kiriku dan mendekatkan mata kananku pada lubang itu. Jeny tanpak sedang merentang kain basah dan cawat pada seutas kenur di jerambah belakang rumahnya. Kain batik yang basah melilit sekaligus membentuk lekuk tubuhnya dengan nyata dari dada hingga pahanya. Kelihatannya Jeny baru saja selesai mandi. Rambutnya kuyup, tergerai terjun ke belakang telinga, melintir ke depan dan terjumbai di dada.
Sesekali Jeny berdiri membelakangiku dan Jhon, sehingga kami bisa melihat punggungnya yang terbuka. Ada daya pikat pada kontras warna rambut yang pekat dengan kulit tengkuk Jeny yang putih dan mulus. Tungkainya jenjang. Ketika berjinjit merentangkan jemurannya, kain batik yang mengantung jauh dari lututnya terangkat. Mata kami leluasa melihat pahanya yang bersih. Aku dan Jhon gergantian melihatnya hingga beberapa kali. Kerlip titik-titik air yang menempel di pipi, leher dan bahunya yang diterpa sinar matahari menambah keindahan tubuhnya. Ucapan Jhon memang benar, Jeny itu mawar. Mawar putih yang bersih dan mulus tanpa noda.
***
Akhirnya aku bisa keluar setelah Abah masuk ke dalam toilet. Aku bergegas kabur menyusuri lorong gang sempit menuju jalan raya. Seperti yang telah kuyakini, Jhon sudah menungguku di persimpangan jalan dengan kaos tanpa lengan dilapisi jaket belel, dipadu dengan jeans rombeng buluknya. Kami segera menuju bar di pinggiran kota. Memanjat tembok belakangnya lalu berlikut di balik mobil.
Lama kami bersembunyi. Aku mulai takut. Kuyakin Jhon bisa merasakannya. Ia menyodorkan rokok. Aku menerima dan menyulutnya. Orang bilang tensi akan berkurang seiring dengan asapnya yang kita hembuskan. Tapi aku remaja kencur yang masih hijau, aku malah terbatuk, tenggorokanku gatal. Menghisap rokok adalah hal baru bagiku, beda urusan dengan Jhon yang sejak kelas satu SMP sudah menghisapnya. Aku berhenti mencerup rokok, mengacuhkannya terselip diantara jari tengah dan telunjukku.
“Jhon, sebaiknya kita pulang saja! Sudah larut. Jeny tak akan datang,” keluhku. Aku menudingkan arloji yang melingkar di tangan kiriku tepat pada wajah Jhon. Pukul setengah satu, itu artinya sudah dua jam kami menungu Jeny.
“Kita kadung di sini. Tunggulah sebentar lagi!”
“Tapi aku sangat takut. Bagaimana jika ayahku tahu aku ke luar rumah malam ini?”
“Memang itu yang kau mau, bukan? Melanggar aturannya?”
“Sebetulnya, iya,” anggukku pelan dengan napas berat. “Tapi aku takut.”
“Tenang! Aku akan membantumu jika ayahmu memarahimu.”
“Kita tidak akan sanggup menahan amarahnya. Kau ingat saat kita dimintai uang oleh empat preman berbadan besar di terminal? Dengan sekali hantaman, meski merka menyerang ayahku dengan belati dan keroyokan, ayahku dengan mudah meringkus merka, kauingat itu?”
Jhon tepekur, lantas berujar, “oh, ya, aku lupa, ayahmu seorang jawara.”
Sesaat sepi. Hanya percik halus tembakau terbakar yang terdengar saat Jhon menghisap rokoknya. Purnama di tubir malam memicu kelopakmataku menjadi berat. Aku rebah di atas rerumputan, kini  langit seolah tidak lagi jauh di atas tapi dekat, percis di hadapanku.
“Lihat! Itu mawar kita!” Mata Jhon berbinar. Mungin sama juga halnya aku ketika kupandangkan mataku pada sosok Jeny. Kami melihat Jeny keluar dari rahim kafe dengan gincu serupa nyala lampion di bibirnya. Jeny kian menawan saat menampakan segurat senyum di bibirnya.
Ah, perempuan yang nyalar menyematan rok pendek dan baju minim pada tubuhnya itu menunjukan dadanya yang bernas, selalu berhasil menyita pandangan kami. Muncul rasa yang aneh ketika melihat perempuan itu meski hanya dari kejauhan. Ada yang bergairah, membuat jantungku berdesir.
Jeny tidak sendiri, dia bersama teman prianya. Keduanya berjalan terhuyung. Si Pria menempelkan punggung Jeny ke dinding lalu bibir hitam tebalnya dipendamkan pada wajah Jeny, kemudian turun ke lehernya. Jeny geming.
Tidak lama seorang wanita lain keluar bersama lelakinya juga, berjalan gontai cekikikan. Aku seperti mengenal wanita itu. Kedua mataku kusipitkan untuk meyakinkannya. Aku beringsut mendekati kersen, kutepis helai daun yang merintangi pandanganku. Aku diantara  percaya-tidakpercaya dengan mataku sendiri. Kupandangi landang di bawah rahang kanan wanita itu lekat-lekat. Bukan, itu bukan dia! Tidak mungkin dia! Pikirku. Aku memutuskan untuk tidak percaya pada mataku.
Aku menajamkan pendengaranku. Diantara riuh dentuman musik, lapat-lapat kudengar suara manja lelaki yang kini melingkarkan kedua tangnnya di pinggang wanita itu berpesan, “besok malam jangan sama yang lain, ya! Aku akan datang.”
“Beres, asal jangan lupa bawa uang yang banyak,” balas wanita itu, seraya mencubit pinggang si lelaki, lalu melingkarkan kedua tangannya pada leher lelaki itu. Ujung hidung mereka saling beradu. Wanita itu kembali berjalan terhuyung cekikikan dan terus berceracau hingga hilang di balik pagar membawa derai tawa bersama lelakinya.
Ah, aku sangat kenal dengan suara itu. Tapi sekali lagi aku memilih tidak percaya pada indraku. Di tepiku Jhon melongo. Ganjil melihat bolamataku karam oleh air yang riung di kelopakmata.
“Ada apa denganmu, Ridwan?”
Pertanyaan pendek itu tak mendapatkan sahutan. Aku geming, tegak di bawah kersen. Mataku lamur, lalu kulempar tatap kosong sejauh mungkin.

No. HP : 08777-10-7373-0

4 komentar:

Terima kasih untuk komentarnya

Bottom Ad [Post Page]