Mata bulat gadis dengan rambut lurus sebahu itu
kosong. Tatapannya hampa. Terlihat sesekali kaki jenjangnya menedang kerikil di
depannya. Ia berjalan di tengah rel, tidak jauh dari Stasiun Serang. Tubuhnya
yang dibalut selembar kaus putih tipis tak sedikitpun merasakan dingin, padahal
angin malam berdesau kencang menggoyangkan dedaunan. Namun ia tetap saja tak
acuh melangkah dengan pandangan lengang di bawah cahaya rembulan yang nampak
begitu bulat sempurna.
Dua puluh meter darinya sinar lampu dari kereta
Krakatau menerpa pemilik mata bulat itu, menyilaukannya. Matanya terpicing. Namun
gadis itu geming, tak memperdulikannya. Kereta jurusan Kediri-Merak itu semakin
mendekat, tinggal sepuluh meter darinya. Namun gadis itu tetap tak acuh. Ia justru
mengirup udara dalam-dalam, kemudian terpejam. Menikmati hembusan angin yang
mendadak membuat siluet-siluet masalah dalam hidupnya berbayang lagi di
otaknya.
Ia sadar betul bahwa kereta di depannya akan
menabraknya. Namun, gadis itu tetap tak bergerak sedikitpun. Ia berdiri diam, bertahan
dalam posisinya. Pikirannya bertarung dengan masalah-masalah yang terus memenuhi
kepalanya.
Dan, bruuuk!!!
Seorang perempuan menarik tubuhnya menjauh dari
lingkaran maut.
“Hey! Siapa kamu?” Bentak gadis itu sambil
menatap marah pada perempaun yang tadi menangkapnya.
“Aku Laras. Aku cuma melakukan apa yang sudah semestinya
aku lakukan.” Kata perempuan itu sambil meringis kesakitan, karena baru saja
terbanting di atas kerikil. Sikunya baret, mengeluarkan darah.
“Diam! Kamu tuh nggak tahu apa-apa!” Balas
gadis itu sinis. Sungguh, ia tak pernah rela rencananya digagalkan orang lain. Apalagi
orang asing seperti perempuan tak ia kenal di sampingnya.
“Maaf, tadi aku cuma mau nolong kamu.” Tak ada
emosi yang terpancar dari kedua matanya. Laras menatap gadis itu dengan tenang.
“Nolong?! Kamu tuh baru aja...” Gadis itu tidak
melanjutkan kata-katanya. Ia kesal namun berusaha menahan emosinya.
“Tadi kamu mau ketabrak kereta, makanya aku
ngelakuin ini,” Laras berargumen. “Memangnya kamu lagi apa tadi?” tanyanya
heran.
“Bukan urusan kamu!” saut gadis itu, yang masih
saja tak acuh.
“Kalau aku perhatikan, tadi kamu mau bunuh
diri?”
“Sudah aku bilang, itu bukan urusanmu!”
“Oke, kalau kamu ada masalah kita bisa
berbagi,” bujuk Laras. Senyum hangat terlukis di wajahnya. “Kamu kenapa? Diputusin
pacar? Diusir? Atau sedang dimarahi orang tua?”
Gadis itu menghela napas dalam-dalam, kekerasan
hatinya meleleh melihat perempuan itu tersenyum. Padahal sudah dibentak dan
dimarahi habis-habisan. Gadis itu mulai merasakan sepertinya orang di
sampingnya ini merupakan orang yang tepat untuk berbagi cerita. Karena sepertinya
usainya juga tak jauh berbeda dengannya.
“Aku sudah gak tahan hidup. Tuhan sudah nggak
adil sama aku. Tuhan selalu membuatku berada di kubangan penderitaan.” Nafas
gadis itu naik turun. Emosinya kembali terpancar keluar.
“Hebat juga Kamu, bisa menyalahkan Tuhan?” Laras
menatap tajam gadis di sampingnya. Membuat gadis itu hanya bergidik ngeri.
“Kamu muslim?” Gadis itu mengangguk. “Kamu tahu, siapa yang menciptakanmu?
Siapa yang membuatmu hingga saat ini masih diberi kesempatan hidup? Siapa yang
membuatmu berada di tengah-tengah orang yang menyayangimu?” gadis itu tersentak
mendengar ucapan Laras.
“Tapi aku sudah bosan hidup. Gak ada gunanya,
cumanya bikin susah orang tua,” Gadis itu melirik Laras yang melempar pandangan
ke arah lain.
“Sebenernya apa yang kamu alami sehingga kamu
nekat mau berbuat sepeti tadi?” ada gurat keseriusan dalam tatapan matanya kali
ini.
“Aku difonis dokter, leukemia. Umurku sudah nggak
lama lagi. Jadi buat apa aku hidup? Cuma nyusahin orangtua aja.” Pekik gadis
itu.
Mendengar hal itu Laras tertegun sejenak, Ia
mendapati butir-butir kristal bening berjatuhan membentuk dua anak sungai yang
bermuara di kedua bola mata gadis rapuh di sampingnya.
“Terkadang, kita harus menerima apa yang memang
seharusnya kita peroleh. Contohnya hidup. Sepahit dan sekeras apapun kita harus
menjalaninya. Itu sudah menjadi suratan takdir dari Allah. Satu yang perlu kamu
ingat, Allah tak akan pernah memberi cobaan di luar batas kemampuan umat-Nya.
Kamu boleh marah, kamu boleh benci sama semua orang, tapi kamu tidak deangan
Allah. Lihat di luar sana, banyak orang yang hidupnya sama sepertimu, bahkan
lebih miris, tapi apa yang mereka lakukan? Mereka malah lebih mendekatkan diri
pada Allah. Berdoa, memohon apa yang terbaik untuknya. Melakukan kebaikan di
sisa umur mereka. Untuk kehidupan yang kekal setelah mati nanti.” Jelas Laras.
Air mata terus mengalir dari mata
bulat gadis itu. Pikirannya berusaha mencerna perkataan Laras dan
merenungkannya.
“Kamu pernah mendengar, bahwa malaikat maut
akan mencabut nyawa kita sesuai dengan apa yang sudah kita perbuat di dunia?” Gadis
itu menggeleng ragu, sembari menyeka airmata yang enggan mereda. “Bunuh diri
adalah cara mengakhiri hidup yang paling dibenci oleh Allah. Dia mengutuk
siapapun yang melakukan perbuatan keji itu.” Gadis itu bergidik ngeri
“Terus aku harus bagaimana?”
“Basuh wajahmu dengan air wudu! Berdo’a pada
Allah. Dia akan menunjukan jalan terbaik untukmu.”
Hati gadis itu kini perlahan mulai terbuka.
“Thanks,
yah. Namaku Lita,” Gadis itu menyodorkan tangannya. Laras menjabatnya. “Ini,
untuk membersihkan lukamu.” Lita memberikan selampainyanya kepada Laras.
“Terimakasih.” Laras menerimanya. “Mulai
sekarang coba dekatkan dirimu dengan Allah! Dia akan menolongmu. Jika kamu
masih ragu datang saja ke rumahku! Sekaligus untuk mengambil selampai ini. Aku
akan mencucinya sampai bersih.” Laras memberikan sebuah kartu nama.
***
Sepekan berlalu. Lita terlihat resah di kamarnya.
Di bualn kelahiran Nabi Muhammad kali ini ia ingin memulai kehidupannya yang
baru. Menjadi manusia yang lebih baik. Tapi, Lita bingung harus mengawali dari
mana? Di atas kasur ia terbaring memejam kan matanya dalam-dalam, mencoba
meresapi apa yang selama ini telah ia lakukan. Jarang salat, gemar hura-hura, bahkan
tak pernah terbesit dalam pikirannya untuk menutup aurat. Kemudian ia teringat sosok
Laras. Ia juga teringat kartu nama yang diberikannya. Lita mengacak-ngacak laci
lemarinya mencari kartu nama itu.
Dengan tergesa-gesa Lita berjalan menuju alamat
yang tertulis di kartu nama yang di berikan Laras malam itu. Ia sangat berharap
bisa bertemu dengan Laras. Secara tidak langsung Laras telah memberinya
semangat hidup.
***
“Cari
siapa, dik?” Tanya pasangan suami-istri, ketika Lita sampai di sebuah rumah.
“Saya cari Laras.”
“Laras?” keduanya terheran-heran dan saling
beradu pandang.
“Iya, Laras!”
Kedua suami-istri itu kembali saling menatap.
Kemudian keduanya menjelaskan semuanya pada Lita. Gadis itu kaget luarbiasa
hingga tak bisa berkata-kata. Mulutnya terkunci rapat. Ternyata Laras sudah
meninggal sejak dua tahun lalu. Dalam keterkejutan luarbiasa, Lita lantas
dibawa masuk. Kedua orangtua Laras menceritakan semuanya, mereka bilang Lita
bukan orang yang pertama, sebelumnya ada beberapa orang yang mengaku pernah
diminta Laras untuk ditemui di rumah ini.
Untuk menyakinkan Lita mereka mengajaknya ke
makam Laras. Yang berada di belakang rumah. Lita semakin terkejut ketika
mendapati selampainya tersampir di batu nisan. Laras menepati janjinya untuk
mengembalikan selampainya.
Lita terduduk sedih di depan makam Laras.
Siluet masa lalu terus berputar di pikirannya. Ia menangis terisak, menyadari
bahwa betapa bodohnya dia menyia-nyiakan hidupnya dulu. Tak pernah bersyukur,
dan selalu mengeluh. Ia tak pernah berpikir, bahwa ada orang yang jauh lebih
miris dari hidup yang ia alami.
Laras meninggal dengan cara yang teragis,
dibunuh oleh sekelompok berandal setelah terlebih dahulu merenggut
kehormatannya. Lita berpikir bagaimana menderitanya kedua orangtua Laras.
Tetapi mereka tetap menjalani hidup walau terkurung dalam kubangan penderitaan.
Tidak seperti dirinya yang mengambil jalan pintas, mencoba mengakhiri hidupnya.
“Setelah bertemu
denganmu, aku sadar ternyata sakit adalah ketentuan dari Allah. Aku
bersyukur bisa merasakan sakit. Karena dengan sakit, aku bisa mengerti bahwa
sehat adalah anugerah luar biasa. Aku juga bersyukur bisa bertemu denganmu.”
Ucap Lita. Kemudian ia berdo’a di depan makan Laras.
Semenjak itu Lita bertekad menjadi seorang
gadis yang mencintai Allah. Itu semua disebabkan
perjumpaannya dengan Laras, roh tak beraga yang menyelamatkannya di stasiun. Yang
membuat ia tersadar dan merubah hidupnya menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi
orang lain.
Lita sadar Allah memberikan hidayah dengan cara
yang tidak pernah diduga-duga. Sepulangnya Lita dari rumah Laras, di depan
cermin Lita melingkarkan hijab di kepalanya. Baginya Rabi’ul Awwal kali ini menjadi bulan yang paling indah dan tak
terlupakan di sisa hidup Lita.
09 Rabi’ul Awwal 1438 H
*Rudi Rustiadi, staff Badan Akreditasi PAUD & PNF Provinsi
Banten, alumni #KampusFiksi-18
Banten News, 16 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentarnya