Wilujeng Sumping. Terima kasih sudah mampir ke Blog ini. Blog ini hanya untuk belajar menulis. Silahkan berikan komentar jika senang dengan isi Blog ini !

Post Page Advertisement [Top]



Mata bulat gadis dengan rambut lurus sebahu itu kosong. Tatapannya hampa. Terlihat sesekali kaki jenjangnya menedang kerikil di depannya. Ia berjalan di tengah rel, tidak jauh dari Stasiun Serang. Tubuhnya yang dibalut selembar kaus putih tipis tak sedikitpun merasakan dingin, padahal angin malam berdesau kencang menggoyangkan dedaunan. Namun ia tetap saja tak acuh melangkah dengan pandangan lengang di bawah cahaya rembulan yang nampak begitu bulat sempurna.
Dua puluh meter darinya sinar lampu dari kereta Krakatau menerpa pemilik mata bulat itu, menyilaukannya. Matanya terpicing. Namun gadis itu geming, tak memperdulikannya. Kereta jurusan Kediri-Merak itu semakin mendekat, tinggal sepuluh meter darinya. Namun gadis itu tetap tak acuh. Ia justru mengirup udara dalam-dalam, kemudian terpejam. Menikmati hembusan angin yang mendadak membuat siluet-siluet masalah dalam hidupnya berbayang lagi di otaknya.
Ia sadar betul bahwa kereta di depannya akan menabraknya. Namun, gadis itu tetap tak bergerak sedikitpun. Ia berdiri diam, bertahan dalam posisinya. Pikirannya bertarung dengan masalah-masalah yang terus memenuhi kepalanya.
Dan, bruuuk!!!
Seorang perempuan menarik tubuhnya menjauh dari lingkaran maut.
“Hey! Siapa kamu?” Bentak gadis itu sambil menatap marah pada perempaun yang tadi menangkapnya.
“Aku Laras. Aku cuma melakukan apa yang sudah semestinya aku lakukan.” Kata perempuan itu sambil meringis kesakitan, karena baru saja terbanting di atas kerikil. Sikunya baret, mengeluarkan darah.
“Diam! Kamu tuh nggak tahu apa-apa!” Balas gadis itu sinis. Sungguh, ia tak pernah rela rencananya digagalkan orang lain. Apalagi orang asing seperti perempuan tak ia kenal di sampingnya.
“Maaf, tadi aku cuma mau nolong kamu.” Tak ada emosi yang terpancar dari kedua matanya. Laras menatap gadis itu dengan tenang.
“Nolong?! Kamu tuh baru aja...” Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya. Ia kesal namun berusaha menahan emosinya.
“Tadi kamu mau ketabrak kereta, makanya aku ngelakuin ini,” Laras berargumen. “Memangnya kamu lagi apa tadi?” tanyanya heran.
“Bukan urusan kamu!” saut gadis itu, yang masih saja tak acuh.
“Kalau aku perhatikan, tadi kamu mau bunuh diri?”
“Sudah aku bilang, itu bukan urusanmu!”
“Oke, kalau kamu ada masalah kita bisa berbagi,” bujuk Laras. Senyum hangat terlukis di wajahnya. “Kamu kenapa? Diputusin pacar? Diusir? Atau sedang dimarahi orang tua?”
Gadis itu menghela napas dalam-dalam, kekerasan hatinya meleleh melihat perempuan itu tersenyum. Padahal sudah dibentak dan dimarahi habis-habisan. Gadis itu mulai merasakan sepertinya orang di sampingnya ini merupakan orang yang tepat untuk berbagi cerita. Karena sepertinya usainya juga tak jauh berbeda dengannya.
“Aku sudah gak tahan hidup. Tuhan sudah nggak adil sama aku. Tuhan selalu membuatku berada di kubangan penderitaan.” Nafas gadis itu naik turun. Emosinya kembali terpancar keluar.
“Hebat juga Kamu, bisa menyalahkan Tuhan?” Laras menatap tajam gadis di sampingnya. Membuat gadis itu hanya bergidik ngeri. “Kamu muslim?” Gadis itu mengangguk. “Kamu tahu, siapa yang menciptakanmu? Siapa yang membuatmu hingga saat ini masih diberi kesempatan hidup? Siapa yang membuatmu berada di tengah-tengah orang yang menyayangimu?” gadis itu tersentak mendengar ucapan Laras.
“Tapi aku sudah bosan hidup. Gak ada gunanya, cumanya bikin susah orang tua,” Gadis itu melirik Laras yang melempar pandangan ke arah lain.
“Sebenernya apa yang kamu alami sehingga kamu nekat mau berbuat sepeti tadi?” ada gurat keseriusan dalam tatapan matanya kali ini.
“Aku difonis dokter, leukemia. Umurku sudah nggak lama lagi. Jadi buat apa aku hidup? Cuma nyusahin orangtua aja.” Pekik gadis itu.
Mendengar hal itu Laras tertegun sejenak, Ia mendapati butir-butir kristal bening berjatuhan membentuk dua anak sungai yang bermuara di kedua bola mata gadis rapuh di sampingnya.
“Terkadang, kita harus menerima apa yang memang seharusnya kita peroleh. Contohnya hidup. Sepahit dan sekeras apapun kita harus menjalaninya. Itu sudah menjadi suratan takdir dari Allah. Satu yang perlu kamu ingat, Allah tak akan pernah memberi cobaan di luar batas kemampuan umat-Nya. Kamu boleh marah, kamu boleh benci sama semua orang, tapi kamu tidak deangan Allah. Lihat di luar sana, banyak orang yang hidupnya sama sepertimu, bahkan lebih miris, tapi apa yang mereka lakukan? Mereka malah lebih mendekatkan diri pada Allah. Berdoa, memohon apa yang terbaik untuknya. Melakukan kebaikan di sisa umur mereka. Untuk kehidupan yang kekal setelah mati nanti.” Jelas Laras.
            Air mata terus mengalir dari mata bulat gadis itu. Pikirannya berusaha mencerna perkataan Laras dan merenungkannya.
“Kamu pernah mendengar, bahwa malaikat maut akan mencabut nyawa kita sesuai dengan apa yang sudah kita perbuat di dunia?” Gadis itu menggeleng ragu, sembari menyeka airmata yang enggan mereda. “Bunuh diri adalah cara mengakhiri hidup yang paling dibenci oleh Allah. Dia mengutuk siapapun yang melakukan perbuatan keji itu.” Gadis itu bergidik ngeri
“Terus aku harus bagaimana?”
“Basuh wajahmu dengan air wudu! Berdo’a pada Allah. Dia akan menunjukan jalan terbaik untukmu.”
Hati gadis itu kini perlahan mulai terbuka.
Thanks, yah. Namaku Lita,” Gadis itu menyodorkan tangannya. Laras menjabatnya. “Ini, untuk membersihkan lukamu.” Lita memberikan selampainyanya kepada Laras.
“Terimakasih.” Laras menerimanya. “Mulai sekarang coba dekatkan dirimu dengan Allah! Dia akan menolongmu. Jika kamu masih ragu datang saja ke rumahku! Sekaligus untuk mengambil selampai ini. Aku akan mencucinya sampai bersih.” Laras memberikan sebuah kartu nama.
***
Sepekan berlalu. Lita terlihat resah di kamarnya. Di bualn kelahiran Nabi Muhammad kali ini ia ingin memulai kehidupannya yang baru. Menjadi manusia yang lebih baik. Tapi, Lita bingung harus mengawali dari mana? Di atas kasur ia terbaring memejam kan matanya dalam-dalam, mencoba meresapi apa yang selama ini telah ia lakukan. Jarang salat, gemar hura-hura, bahkan tak pernah terbesit dalam pikirannya untuk menutup aurat. Kemudian ia teringat sosok Laras. Ia juga teringat kartu nama yang diberikannya. Lita mengacak-ngacak laci lemarinya mencari kartu nama itu.
Dengan tergesa-gesa Lita berjalan menuju alamat yang tertulis di kartu nama yang di berikan Laras malam itu. Ia sangat berharap bisa bertemu dengan Laras. Secara tidak langsung Laras telah memberinya semangat hidup.
***
            “Cari siapa, dik?” Tanya pasangan suami-istri, ketika Lita sampai di sebuah rumah.
“Saya cari Laras.”
“Laras?” keduanya terheran-heran dan saling beradu pandang.
“Iya, Laras!”
Kedua suami-istri itu kembali saling menatap. Kemudian keduanya menjelaskan semuanya pada Lita. Gadis itu kaget luarbiasa hingga tak bisa berkata-kata. Mulutnya terkunci rapat. Ternyata Laras sudah meninggal sejak dua tahun lalu. Dalam keterkejutan luarbiasa, Lita lantas dibawa masuk. Kedua orangtua Laras menceritakan semuanya, mereka bilang Lita bukan orang yang pertama, sebelumnya ada beberapa orang yang mengaku pernah diminta Laras untuk ditemui di rumah ini.
Untuk menyakinkan Lita mereka mengajaknya ke makam Laras. Yang berada di belakang rumah. Lita semakin terkejut ketika mendapati selampainya tersampir di batu nisan. Laras menepati janjinya untuk mengembalikan selampainya.
Lita terduduk sedih di depan makam Laras. Siluet masa lalu terus berputar di pikirannya. Ia menangis terisak, menyadari bahwa betapa bodohnya dia menyia-nyiakan hidupnya dulu. Tak pernah bersyukur, dan selalu mengeluh. Ia tak pernah berpikir, bahwa ada orang yang jauh lebih miris dari hidup yang ia alami.
Laras meninggal dengan cara yang teragis, dibunuh oleh sekelompok berandal setelah terlebih dahulu merenggut kehormatannya. Lita berpikir bagaimana menderitanya kedua orangtua Laras. Tetapi mereka tetap menjalani hidup walau terkurung dalam kubangan penderitaan. Tidak seperti dirinya yang mengambil jalan pintas, mencoba mengakhiri hidupnya.
“Setelah bertemu denganmu, aku sadar ternyata sakit adalah ketentuan dari Allah. Aku bersyukur bisa merasakan sakit. Karena dengan sakit, aku bisa mengerti bahwa sehat adalah anugerah luar biasa. Aku juga bersyukur bisa bertemu denganmu.” Ucap Lita. Kemudian ia berdo’a di depan makan Laras.
Semenjak itu Lita bertekad menjadi seorang gadis yang mencintai Allah.  Itu semua disebabkan perjumpaannya dengan Laras, roh tak beraga yang menyelamatkannya di stasiun. Yang membuat ia tersadar dan merubah hidupnya menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain.
Lita sadar Allah memberikan hidayah dengan cara yang tidak pernah diduga-duga. Sepulangnya Lita dari rumah Laras, di depan cermin Lita melingkarkan hijab di kepalanya. Baginya Rabi’ul Awwal kali ini menjadi bulan yang paling indah dan tak terlupakan di sisa hidup Lita.

09 Rabi’ul Awwal 1438 H

*Rudi Rustiadi, staff Badan Akreditasi PAUD & PNF Provinsi Banten, alumni #KampusFiksi-18

Banten News, 16 Desember 2016



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih untuk komentarnya

Bottom Ad [Post Page]