Wilujeng Sumping. Terima kasih sudah mampir ke Blog ini. Blog ini hanya untuk belajar menulis. Silahkan berikan komentar jika senang dengan isi Blog ini !

Post Page Advertisement [Top]




Kecemasan Pada Kampung Halaman

Judul              : Lege
Penulis           : Hilman Sutedja
ISBN               : 978-602-9117-63-9
Tebal              : 100 Halaman
Penerbit         : Gong Publishing, April 2016

Lege, buku antologi cerpen bersampul merah darah dengan gambar seekor lege (kumbang), karya Hilman Sutedja ini diterbitkan dalam rangka memeriahkan perayaan #WorldBookDay pada 23 April 2016 di #RumahDunia. Buku ini merupakan buku antologi cerpen keduanya setelah “Nyarang” (Gong Publishing 2013).
Dalam cerpennya yang berjudul “Saf” Hilman seperti ingin menyindir para pemimpin, yang menempuh segala upaya bahkan hingga menggunakan cara-cara yang buruk dan kotor dengan menyakiti orang lain demi mempertahankan dan melindungi kekuasaannya. Sosok fiksi itu digambarkan Hilman melalui Takriman, yang tidak segan-segan akan menendang siapapun yang mengisi safnya di masjid untuk salat. Sayangnya ending pada cerita “Saf” ini kurang jelas. Hilman kurang dalam memberikan planting information, sehingga pembaca tidak menemukan cerita yang utuh, penyebab meninggalnya Takriman seusai salat Jumat setelah menendang Rajidi. Kisah tentang kekuasaan dan keserakahan juga bisa kita temukan pada cerita “Kobong”.
Dalam cerpen selanjutanya, yang juga digunakan Hilman untuk menjadi judul utama pada bukunya ini. Hilman mengisahkan sosok Amarah, petani yang masih percaya pada dukun untuk menerawang masa panen dan hama Lege yang menyerang sawahnya. Menurut Ki Jayaparna, dukun yang didatangi Amarah, lege itu merupakan hama yang sengaja dikirim memlaui cara gaib oleh petani saingan Amarah. Atas saran  Ki Jayaparna darah ayam pun disiramkan pada sawah untuk menghalau serangan lege itu. Tidak hanya itu Amarah juga membakar  lege-lege itu. Namun seperti bumerang yang dilemparkan oleh orang yang tidak mahir memainkannya, lege itu justru menjadi senjata yang balik menyerangnya. Sebab dalam cerita ini kemudian dikisahkan, karena seekor lege, sawah yang siap dipanen Amarah terbakar habis.
Saya bersama Hilman Sutedja di acara World Book Day, Rumah Dunia
Secara keseluruahan kesembilan cerita dalam Lege merupakan cerita realis dari kecemasan Hilman pada kampung halamannya. Hilman yang merupakan pria kelahiran Menes, kecamatan di kaki Gunung Pulosari, Pandeglang, tentunya sebagai seorang yang tinggal di kampung, Hilman banyak menemukan mitos ataupun kepercayaan yang berkembang di kampungnya, baik itu perihal pengobatan, rezeki, jodoh, kematian bahkan hingga nasib seseorang bisa ditentukan oleh orang lain melalui cara yang tidak masuk akal, tetapi dipercayai oleh banyak orang.
Kecemasan pada sebagian masyarakat di kampung halamannya yang masih memegang kepercayaan pada kegiatan yang bersinggungan perdukunan, klenik dan hal-hal mistis lainnya itulah yang kemudian Hilman tumpahkan pada Lege. Cerita demikian bisa kita temukan dalam cerita Pemuja Batu Akik, Lege dan Kasantap. Dituliskannya kecemasan itu diharapkan mampu mengobati dan menjadi ‘angin segar’ atas kecemasan yang merongrong pikirannya, serta memberi motivasi dan harapan yang lebih baik pada kecemasaan Hilman akan keadaan di sekitarnya.
Kecemasan akan kampung halaman lainnya bisa kita temukan pada setting lokasi dalam cerpen-cerpennya yang menggunakan lokasi di sekitar kampungnya, Koranji, seperti, Menes pada cerita “Leleki Yang Menunggumu Sampai Senja”, Pulosari pada cerita “Koran” dan lokasi-lokasi dalam cerita lainnya. Selain itu, kelokalan pada kampung halaman juga tergambar jelas dalam penggunaan bahasa dan istilah seperti kerewed (sebutan untuk tukang sayur dan ikan eceran di daerah Pandeglang), kasantap (kejadian ganjil setelah seseorang mengunjungi satu tempat yang anggap angker biasanya orang itu akan sakit bahkan meninggal dengan tidak wajar), kobong (tempat santri salafi tinggal biasanya terbuat dari bilik bambu) serta istilah-istilah lainnya yang akan banyak kita temukan dalam Lege.

28, April 2016

*diresensi oleh Rudi Rustiadi, penulis buku Tur Literasi Anyer-Panarukan

#Lege
#TurLiterasi
#HilmanSutedja
#RumahDunia
#WorldBookDay

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih untuk komentarnya

Bottom Ad [Post Page]