Wilujeng Sumping. Terima kasih sudah mampir ke Blog ini. Blog ini hanya untuk belajar menulis. Silahkan berikan komentar jika senang dengan isi Blog ini !

Post Page Advertisement [Top]

 

Kado Buat (Calon Penyair) Djoe Taufik 

(Fresh Graduate yang Sedang Merayakan Ulang Tahunnya yang ke-24)

 

Menulis puisi itu tidak sulit, tapi menjadi penyair itu tidak gampang. Satu kalimat dari Imam Budhi Santosa itu jika ditafsirkan secara serampangan, oleh orang awam dalam dunia perpuisian seperti saya, barangkali maknanya bisa begini; siapa saja bisa menulis puisi, tapi sedikit yang menulisnya dengan baik layaknya seorang penyair.

Banyak penyair mengatakan bahwa menulis puisi bukan perkara mudah; butuh permenungan yang lama, pemilihan diksi yang selektif, menemukan kebaruan frasa, memperhitungkan kedalaman makna, dan banyak lagi hal-hal lain yang mesti diperhatikan seorang penyair. Tapi tidak sedikit juga yang menyatakan menulis puisi itu sesederhana menyeduh kopi instan; puisi hari ini sudah sangat bebas dan seringkali menabrak kaidah-kaidah yang dulu dibuat, bahkan beberapa puisi menghancurkan definisi puisi itu sendiri; contohnya menulis puisi kini sudah lepas dari rima dan keteraturan baitnya. Bebas!

Beberapa hari lalu saya disodorkan sebuah buku kumpulan puisi Fragmen Awal karya Djoe Taufik.  Saya bukan penulis puisi tapi menolak bukan pilihan bijak. Dengan cover merah bergradasi puih itu nampaknya Djoe Taufik sedang berada di puncak semangat. Berani? Bisa demikian, tapi saya melihat merah pada cover Fragmen Awal justru bukan sebuah keberaian (dalam melahirkan sebuah karya) tapi kenekatan, yang juga diakui Djoe Taufik dalam prakata dalam buku ini.

Sebelum menerbitkan buku kumpulan puisi terbarunya ini, puisi-puisi Djoe Taufik sudah terlebih dahulu tergabung dalam beberapa buku antologi puisi; Kunanti Kau di Sudut Senja (Titik Embun: 2018), Bersama Kata (Gong Publishing: 2018), Dari Balik Batu-Batu (Nulisbuku: 2019), Kuterima Dukamu (Lumbung Banten: 2020) Majalah Sastra Kandaga (Kantor Bahasa Banten: 2020). Barangkali jejak-jejak inilah yang melatarbelakangi keberanian (baca: kenekatan) Djoe Taufik dalam menerbitkan buku kumpulan puisi. Keberanian itu jugalah yang kemudian menjadikan Djoe Taufik seperti orang kebelet. Terburu-buru. 

 

Meski dimaksudkan untuk merayakan hari kelahiran dan prosesi wisuda, sebagai orang yang mafhum dalam dunia perbukuan Djoe Taufik tidak semestinya menerbitkan buku dengan tergesa-gesa. Penting bagi seorang penulis memberikan identitas dan kualitas pada karya yang ia tulis, termasuk Djoe Taufik, menjadi kurang bijak jika seorang penulis mengabaikan keduanya. Tapi lagi-lagi sepertinya sulit bagi Djoe Taufik untuk tidak menerbikan buku sekarang ini, dengan semangatnya juga kegembiraannya yang sedang meletup-letup.

Begitulah kesan saya terhadap buku puisi Fragmen Awal. Lalu bagaimana dengan puisi-puisi di dalamnya. Secara umum puisi-puisi itu lahir dari peristiwa-peristiwa yang dialami penyair dari tahun 2013 hingga 2020 yang bisa dilihat dari titi mangsanya; dari mulai nyantri (sekolah), hingga kuliah dan lulus, satu puisi lahir dan dipersembahkan untuk Gol A Gong, yaitu puisi Bolehkah. Akan terlalu banyak kata jika harus membahas 61 puisi Djoe Taufik satu-persatu. Puisi di bawah ini adalah puisi yang saya temukan secara acak saat akan coba bahas secara teknis dan tehnik dalam kepenulisannya.

 

SEMPAK MERAH

 

sudah lama aku tidak pakai sempak

celana yang kupakai selalu bermasalah

sempak simbol kependudukan

 

aku coba membuat sempak

mencari bahan ke anyar

aku bayar 50 ribu untuk prosesnya

tapi bahan itu dimakan tikus

oh tikus sialan

 

ingin rasanya kutelanjang

menikmati kebebasan warga dunia

merasakan keindahan sistem

pemerintahan dengan senyuman

 

Serang, 21.02.2020

 

Puisi naratif (menceritakan peristiwa berdasarkan urutan waktu) yang ditulis oleh Djoe Taufik dengan judul Sempak Merah di atas, jika dibaca selintasan, puisi tersebut ditulis dengan spontanitas. Puisi itu tercipta begitu saja untuk melepaskan emosi (perasaan) setelah penyair mengalami satu peristiwa yang (entah itu) lucu, menjengkelkan, menyedihkan atau perasaan lainnya. Puisi tersebut belum sampai pada dua makna definisi puisi yang disampaikan Wordsworth, bahwa puisi merupakan the spontaneous overflow of powerful meaning. Pada puisi ini Djoe Taufik baru sampai pada definisi pertama (spontaneus overflow) yang diiringi dengan luapan emosi yang sulit disembunyikan dalam diksi; sialan, kebebasan, keindahan, dan senyuman. Djoe Taufik melupakan makna kedua (powerful meaning), tentang kedalaman makna, pesan dan pengendalian emosi yang semestinya diimajinasikan (disembunyikan) dalam bentuk frasa atau kalimat yang lain, jika kata almarhum eyang Sapardi; Bilang Begini Maksudnya Begitu.

 Peristiwa yang terjadi dalam puisi ini, si aku liris menggambarkan dirinya yang tidak memiliki tanda kependudukan, dan itu sering menjadi masalah bagi dirinya saat melakukan aktivitas yang menuntut untuk menunjukan tanda data diri. Kemudian si aku liris mencoba untuk membuatnya, prosesnya ia tempuh dari mengumpulkan syarat-syaratnya hingga ke Anyar (tempat lahir penulis, saat itu penulis sedang kuliah dan tinggal di Kota Serang). Hingga kemudian proses administratif, menuntut si aku mengelurkan sejumlah uang, namun rupanya gagal. Si aku kemudian marah, dan objeknya adalah “tikus sialan” yang tak lain adalah petugas pembuat tanda kependudukan. Pada bait selanjutnya si aku “kalah” dan pasrah oleh keadaan yang dialaminya, hingga muncullah harapan-harapan, akumulasi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi padanya.

 Dari metafor atau simbolisasi yang dibuat oleh Djoe Taufik melalui aku liris dari puisi Sempak Merah. Diksi “merah” pada frasa “sempak merah” bisa pembaca (saya) asumsikan itu adalah perasaan jengkel atau marah, dengan merujuk kata “sialan” pada larik kedelapan di bait kedua. Sedangkan diksi “sempak” makna sesungguhnya “dibocorkan” Djoe Taufik pada larik ketiga /sempak simbol kependudukan/. Lalu apa yang dimaksud dengan simbol kependudukan? Bisa apa saja; paspor, Kartu Tanda Penduduk, Karu Keluarga dan simbol-simbol lainnya. Jadi Si Penyair pada puisi ini sedang marah kepada simbol kependudukan? Wallahua’lam. Silakan lihat larik-larik senjajutnya dalam puisi ini!

 Dalam puisi ini, Djoe Taufik tanpa tedeng aling-aling menusuk pada objek yang menjadi temanya; tanda atau simbol kependudukan. Puisi dengan 12 larik dan 3 bait ini, diksi dan frasanya tidak banyak menampilkan kebaruan. Selain itu, jika benar yang dimaksud dengan “sempak” adalah tanda atau simbol kependudukan, mengapa penyair menuliskan kalimat /ingin rasanya kutelanjang/? Jika benar, maka “telanjang” (menaggalkan seluruh pakaian), bisa diartikan dengan menanggalkan simbol-simbol kependudukan seperti paspor, KTP dan lain sebagainya. Tapi di larik selanjutnya “si aku” ingin /menikmati kebebasan warga dunia /merasakan keindahan sistem/ pemerintahan denan senyuman/. Bagaimana mungkin seseorang menikmati kebebasan menjadi warga dunia (berpindah dari negara ke negara lain) tanpa tanda kependudukan atau identitas diri. Bagi saya bait ketiga dalam puisi ini dalah paradoks yang sempurna untuk melemahkan puisi, dan menghancurkan kesempurnaan puisi itu sendiri.

 Dalam puisi ini saya merasakan bahasa (diksi, frasa dan kalimat) keseharian yang biasa-biasa saja, yang dibuat dengan sangat sederhana. Dari puisi di atas juga saya merasakan penyair (Djoe Taufik) kurang giat, untuk mencari dan membuat kebaruan frasa juga metafor. Misalkan pada metafor “tikus” yang pada puisi ini jelas dikonotasikan sebagai orang dengan prilaku rakus (sebut saja korup).  Kata “tikus” sudah sangat umum untuk mendeskripsiakn itu.

 

Membaca buku kumpulan puisi Fragmen Awal karya Djoe Taufik ini, saya merasa Djoe Taufik (belum dewasa dan) terus tumbuh dalam menulis puisi. Hal itu terlihat dari puisi-puisisnya pada tahun 2013, yang terus mengalami perubahan (lebih baik) jika dibandingkan dengan tahun 2020. Dengan berat hati saya harus mengakui Djoe Taufik belum mencapai kematangan sebagai seorang penyair. Maka untuk menuju maturitas tersebut, Djoe Taufik mesti terus tumbuh dengan bacaan, pengalaman serta pengetahuan sebagai suplemen untuk melahirkan puisi-puisi berikutnya.  

Oh, iya, puisi “Sempak Merah” di atas hanya satu contoh puisi, bukan berarti merepresentasikan keseluruhan puisi-pusi dalam Fragmen Awal. Lalu bagaimana dengan puisi-puisi lainnya? Silakan Anda baca dan tafsir sendiri. Hubungi Djoe Taufik di Instagram atau Facebook untuk tahu bagaimana cara mendapatkan buku ini, lalu bacalah!

Penulis; Rudi Rustiadi, mahasiswa yang dituntut untuk segera lulus kuliah sebelum covid-19 berakhir dan situasi menjadi normal kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih untuk komentarnya

Bottom Ad [Post Page]