Wilujeng Sumping. Terima kasih sudah mampir ke Blog ini. Blog ini hanya untuk belajar menulis. Silahkan berikan komentar jika senang dengan isi Blog ini !

Post Page Advertisement [Top]



Jangan Baca Buku Puisi
Sebelum Menulis Puisi*

Empat bulan lalu saya diajak Gol A Gong untuk berpartisipasi dalam kegiatan Rumah Dunia, bernama Tur Literasi Jawa. Menemaninya memberikan workshop kepenulisan dan membagi-bagikan buku ke Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di pulau Jawa. Saya ingat betul di setiap workshop Gol A Gong selalu mengingatkan kepada para peserta, “sudah berapa banyak buku yang kamu baca?” Lalu dalam perjalanan pulang Gol A Gong menantang relawan membuat satu buku puisi yang kemudian diikutsertakan dalam lomba Hari Puisi Indopos. Saat itu saya yang asing dengan puisi langsung mengungkapkan ketidakmampuan saya membuat puisi, “saya tidak pernah belajar atau pun menulis puisi, kecuali di sekolah,” Saya menjelaskan alasannya. Saat itu Gol A Gong hanya memberi saran kepada saya untuk, “baca puisi orang, lalu mempelajarinya. Kemudian tuliskan kembali dengan gayamu!”  
Gayung pun bersambut. Satu bulan setelah Tur Literasi, Toto ST Radik, penyair Banten sekaligus salah satu pendiri Rumah Dunia, kembali membuka Majelis Puisi, wadah yang menjadi sarana untuk para pecinta puisi mendalami puisi, yang sempat vakum beberapa waktu lalu. Saya ikut menjadi pesertanya. Ini menjadi kesempatan emas buat saya. Eforia sontak saja menjalar ke seluruh tubuh. Saya sangat bersemangat.
Sama halnya dengan Gol A Gong, dalam pembelajaran pertama Majelis Puisi Toto ST Radik juga mengingatkan peserta, “ada berapa buku puisi di rumah? Sudah berapa buku puisi yang dibaca?” Bahkan memberi tugas untuk membuat puisi tentang kepenyairan dan satu karya orang lain dengan tema yang sama kemudian membandingkannya.
Eforia yang baru saja saya rasakan seketika saja menguap, ketika Minggu, 22 Februari, saya mendapatkan note dari Toto ST Radik bahwa puisi yang saya buat ternyata ada kemiripan, dengan salah satu puisi yang saya baca. Sontak saja merasa  rendah diri dan malu malu untuk kembali mengikuti Majelis Puisi. Karena itu berarti secara tidak langsung menurutnya saya sudah meniru karya orang lain.
Untuk membuktikannya. Maka, hal pertama yang saya lakukan setelah sampai di rumah setelah Majelis Puisi adalah membuka account facebook saya, stalking di wall penyair yang Toto ST Radik maksud, tapi saya tidak menemukannya. Maka, keesokan harinya saya mencari buku-buku puisi yang saya baca ke Rumah Dunia, saya masih hafal buku-buku yang saya baca karena memang baru sedikit buku puisi yang saya baca. Dan saya menemukannya, lalu  membandingkannya. Dan ternyata memang ada kemiripan dari tema dan beberapa diksinya.
Kejadian ini membuat saya malu, jangankan untuk bersitatap dengan penyair itu, melihat jawahnya saja saya tidak berani. Saat itu juga saya menyadari, ada benarnya juga kata Abdul Salam, penyair Banten, yang mengisi materi Majelis Puisi minggu lalu. Dia mengatakan bahwa puisi itu lahir bukan berdasarkan sebuah ide melainkan dari pengalama empirik pribadi si penyair.
Saya lalu berpikir mungkin eforia yang menggebu lalu kesalahan saya mengartikan maksud dari ‘baca dan pelajari buku puisi ketika menulis puisi’ yang diinstruksikan Gol A  Gong dan Toto ST Radik. Maka saya memiliki kecendrungan untuk membuat puisi yang bermaksud melebihi puisi yang saya baca, tapi saya malah terjebak pada situasi salah, karena kemudian saya hanya menuliskan puisi dengan kesamaan ide atau pun tema dengan puisi yang saya baca.
Menurut Gabriel Tarde, psikolog Prancis (1903), apa  yang saya alami ini adalah sifat alami manusia yang cenderung untuk meniru perbuatan orang lain, semata-mata karena hal itu merupakan bagian dari sifat biologis manusia untuk melakukan hal tersebut. Semua orang memiliki kecenderungan yang kuat untuk menyamai, menandingi atau melebihi peristiwa yang dialaminya (dalam hal ini membaca) di sekitarnya.
Mungkin Anda (pembaca) menganggap ini hanya alasan saya atau pembelaan saya terhadap apa yang sudah saya lakukan. Silahkan! Saya menerimanya dengan lapang dada.
Lalu saya kembali berpikir, mungkin belum saatnya saya menulis puisi karena saya belum memiliki pengalaman yang mampu memeras kata-kata di kepala saya menjadi sebuah puisi. Tapi hasrat saya untuk terus belajar dan membuat puisi belum padam. Maka, saya putuskan tidak membaca buku puisi saat akan membuat puisi. Ini adalah cara saya untuk mencegah atau sekedar menghindari kesamaan ide ketika saya akan menulis puisi. Cara yang saya lakukan ini merupakan cara menumbuhkan rasa percaya diri saya, serta menghargai karya sendiri maupun orang lain. Treatmen ini bukan himbawan atau ajakan untuk anda untuk melakukan hal yang sama dengan saya. Karena memang setiap orang berbeda. Namun jika anda merasakan hal yang sama, memiliki kecenderungan yang kuat untuk menyamai, menandingi atau melebihi yang seseorang lakukan. maka, cara ini bisa anda tiru!

-Jangan membaca buku puisi, sebelum menulis puisi! Biarkan pengalaman memeras kata-kata di kepalamu untuk melahirkan puisi-

*Tulisan ini menjadi surat permohonan maaf saya atas kesalahan saya di Majelis Puisi, 1 Maret 2015.

1 komentar:

  1. jawah itu apa? typo ya? hahaha... beginilah dalam berproses kawan, nikmati saja. Yang jelas, mau berusaha dan terus belajar itu adalah amunisi yang harus tetap dijaga.

    Tetaplah menulis!

    BalasHapus

Terima kasih untuk komentarnya

Bottom Ad [Post Page]