Ada Apa
Dengan MARS?
Akhir
bulan April lalu para penggemar film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) bersuka cita
dengan adanya kelanjutan kisah asmara antara Cinta dan Rangga. Penantian
panjang selama 14 tahun terpuaskan dengan tayangnya sequel AADC 2 pada
28 April 2016, serentak di tiga negara, Brunai Darussalam, Malaysia dan
Indonesia. Tidak mengherankan jika dalam tiga hari penayangannya, jumlah penontonnya
menembus angka 700 ribu penonton. Lalu ada apa setelah AADC?
Memperingati
hari pendidikan nasional pada 2 Mei, Multi Buana Kreasindo, Leica Productions merilis film Mimpi
Ananda Raih Semesta (MARS). Tanggal 4 Mei juga dipilih menjadi tanggal gala
premier film MARS. Saya sangat antusias menonton MARS karena ada yang istimewa
dalam film itu. MARS dibesut oleh sineas muda asal Banten! Pemuda itu bernama
Sahrul Gibran. Pria asal Bayah yang tercatat sebagai mahasiswa di Universitas
Serang Raya. Saya tahu sutradara film MARS adalah orang Banten, ketika saya me-launching
buku saya—Tur Literasi Anyer-Panarukan—pada acara World Book Day (WBD) di
Rumah Dunia pada 23 April lalu. Dalam acara itu Sahrul datang bersama John De
Rantau— sutradara Denias, Senandung di Atas Awan—yang juga merupakan guru
Sahrul di dunia perfilman.
Di WBD,
selama satu jam lebih Sahrul Gibran dan John De Rantau berbincang seputar penggarapan
film MARS dalam sesi diskusi film. Acara itu juga disiarkan di Baraya TV pada
program Dialog Khusus. Selain berbagi pengalaman menyutradarai MARS, Sahrul juga
menceritakan perjuangannya menjadi sutradara.
Proses
metamorfosis Sahrul dari seorang mahasiswa menjadi sutradara ternyata tidaklah
mudah. Banyak kerikil tajam yang menghalangi langkahnya untuk menggapai impiannya
menjadi sutradara. Sahrul yang menggantungkan asa setinggi langit ternyata tidak
mendapat dukungan dari kedua orangtuanya. Mereka tidak setuju dengan cita-cita
anaknya menjadi sutradara. Diceritakan Sahrul, orangtuanya menganggap cita-cita
menjadi seorang sutradara itu terlalu tinggi, cita-cita itu hanya milik orang
berduit, untuk anak jendral, anak artis, bukan untuk Sahrul yang notabenenya
adalah anak petani di kampung selatan Banten. Namun Sahrul tetap bersikukuh menjadi
sutradara, walau sudah puluhan production house menolaknya karena tidak
punya pengalaman. Hingga puncaknya ia disisihkan keluarga, bahkan tidak diakui
sebagai anak ketika pulang saat lebaran.
Harapan Sahrul
menjadi sutradara juga sempat pupus ketika ibu dan ayahnya meninggal. Pada saat
itu Sahrul yang ingin membuktikan pada orangtuanya bahwa ia tak salah memilih cita-cita
kehilangan motivasi. Beruntung ia mempunyai guru yang mampu membangkitkan
kembali semangatnya. Ya, John De Rantau, selain keterlibatannya sebagai scip
writer di film MARS, Jhon juga berhasil menjadi motivator untuk Sahrul.
Kembali pada karya Sahrul, film
berduarasi 105 menit garapannya ini berkisah tentang kehidupan dan perjuangan keluarga
Tupon (Kinaryosih), suaminya (Teuku Rifnu Wikana) dan anak perempuan semata
wayangnya bernama Sekar Palupi (Acha Septriasa). Tupon dan suami banting tulang
demi masa depan Sekar khususnya untuk hal pendidikan. Tupon dan suami
bekerja keras sebagai buruh batu di kaki Gunung Kidul, namun hal buruk menimpa Tupon,
sang suami menjadi korban kecelakaan kerja hingga nyawanya tak dapat ditolong.
Jadilah Tupon yang buta
aksara mesti membesarkan Sekar seorang diri. Ia pun terus berjuang demi
membesarkan sang anak dan menyekolahkan anaknya hingga jenjang pendidikan tertinggi.
Demi pendidikan Sekar apapun ia lalukan. Tupon yang selalu berpegang teguh
pada prinsipnya, bahwa semua keinginan itu akan bisa diraih lewat ilmu
pengetahuan mendapatkan hasilnya, ketika Sekar lulus dari Oxford Univeristy Inggris dan meraih gelar
Master di bidang astronomi. Sedari Sekar kecil Tupon tidak pernah bosan mengingatkan kepada Sekar
akan pentingnya sebuah pendidikan. Di satu scene diceritakan Tupon selalu membawa Sekar melihat
alam semesta, dan selalu menunjukan lintang lantip (bintang cerdas), planet
Mars. Ia selalu bilang bahwa Sekar bisa ke sana dengan ilmu pengetahuan.
Nuansa pendidikan yang terkandung dalam film MARS ini begitu kental terasa. Namun, selain itu, film bergenre drama yang diadaptasi dari novel Aishworo Ang tahun 2006 ini juga sarat dengan muatan penghormatan akan sosok ibu. Film ini juga mengingatkan kita semua bahwa kita harus senantiasa menghormati ibu. Dalam satu adegan Sekar menyampaikan arti ibu baginya dalam bahasa Inggris, ia mengutip sebuh hadis yang diriwayatkan Bukhori. “Jika ada pertanyaan, siapa yang harus paling kau hormati? Jawabannya adalah ibumu, ibumu, dan ibumu, lalu bapakmu!” Meski bertema pendidikan MARS bukanlah film pengulangan dari film bertemakan pendidikan lainnya seperti Laskar Pelangi dan film lainnya.
Nuansa pendidikan yang terkandung dalam film MARS ini begitu kental terasa. Namun, selain itu, film bergenre drama yang diadaptasi dari novel Aishworo Ang tahun 2006 ini juga sarat dengan muatan penghormatan akan sosok ibu. Film ini juga mengingatkan kita semua bahwa kita harus senantiasa menghormati ibu. Dalam satu adegan Sekar menyampaikan arti ibu baginya dalam bahasa Inggris, ia mengutip sebuh hadis yang diriwayatkan Bukhori. “Jika ada pertanyaan, siapa yang harus paling kau hormati? Jawabannya adalah ibumu, ibumu, dan ibumu, lalu bapakmu!” Meski bertema pendidikan MARS bukanlah film pengulangan dari film bertemakan pendidikan lainnya seperti Laskar Pelangi dan film lainnya.
Karya
dan predikat Sahrul sebagai sutradara film MARS berhasil menggegerkan Banten.
Dalam gala premier MARS di Cilegon banyak penonton yang datang untuk
menyaksikan karya perdana Sahrul. Saya sempat bertanya pada beberapa penonton
seusai pemutaran film; ada yang datang untuk mengapresiasi karyanya, penasaran
dengan film MARS, hingga sekadar ingin tahu sosok Sahrul. Maka, saya rasa tidak
ada salahnya menjadikan Sahrul Gibran sebagai role model anak muda di
Banten dalam berkreativitas dan meraih cita-cita. Banyak hal yang kita bisa
ambil dari perjalanan hidup dan karyanya. Sosok Sahrul bisa menjadi contoh
bahwa kreativitas dan tekad yang kuat akan menjadi salah satu faktor penentu kesuksesan
seseorang.
Bayah kini
boleh berbangga karena telah melahirkan seorang sineas. Orang tidak hanya akan
mengenal Bayah karena keindahan pantainya, namun akan ada nama Sahrul Gibran setiap
kali orang memperbincangkan Bayah. Selain untuk Bayah, hadirnya Sahrul sebagai
sutradara bertaraf nasional tentunya menjadi berkah untuk Banten. Secara tidak
langsung prestasi yang ditorehkan Sahrul mengikis citra negatif Banten yang
selalu menjadi sorotan dari kasus korupsi, politik dinasti hingga yang teranyar
yaitu pengerukan besar-besaran pasir Pulau Tunda untuk proyek reklamasi di
teluk Jakarta.
Bagi saya
pribadi MARS dan Sahrul menjadi sosok pemberi motivasi yang penuh dengan
inspirasi. Dan diharapkan para penonton akan
dapat mengambil pelajaran berharga setelah menyaksikan film ini. Seperti
halnya AADC, saya berharap akan ada sequel film MARS di kemudian hari dan
Sahrul akan terus melahirkan karya-karya besar lainnya. Bagi para penulis, kehadiran
Sahrul di WBD—April lalu—memberi motivasi kepada para penulis muda di Banten,
seperti Ade Ubaidil—penulis novel Kafe Serabi—dan penulis lainnya untuk terus
aktif dan kreatif menulis. Bukan tidak mungin satu saat nanti, akan ada
sutradara dari Banten akan memproduksi film yang mengadaptasi novel yang
ditulis oleh penulis Banten pula. Semoga!
Kabar Banten 17 Mei 2016
Rudi Rustiadi, penulis buku Tur Literasi
Anyer-Panarukan.
Ø Judul Film : Mimpi Ananda Raih Semesta (Mars)
Ø Genre Film Mars : Drama
Ø Sutradara Film Mars : Sahrul Gibran
Ø Penulis Film Mars : John De Rantau
Ø Produksi Film Mars : Multi Buana Kreasindo, Leica Productions
Ø Tanggal Rilis Film Mars : 4 Mei 2016,
Pemeran Film Mars
Film produksi Multi Buana Kreasindo, Leica Production, Harry Global Production dan Silent D Picture ini dibintangi Kinaryosih (Tupon, ibu Sekar), Acha Septriasa (Sekar dewasa), Teuku Rifnu Wikana (Surib, bapak Sekar), Cholidi Asadil Alam (Ustad Ngali), Chelsea Riansy (Sekar kecil), Jajang C Noer (Bu Guru Karsiyem), Krisno Bossa (Juragan Pujo Widodo), Yati Surachman (Mbok Kariyo), Ence Bagus (Pak Guru Nyoto), Egi Fedly (Ki Mangun Pakik), Fuad Idris (Dukuh Saelan), Briliana Desy Dwinawati (Istri Dukuh Saelan), Mien Brodjo (Nenek Rekso)
kereen bang hee
BalasHapusHehe.... tengkyu
Hapuskereeen bang. bikin orang yang baca tulisan ini jadi pingin nonton filmnya. ehehe
BalasHapusTengkyu Happy.............
BalasHapus