TANDA
“Ini sudah yang kedua kalinya,” ucap Siti
dalam hati. Ada perasaan takut yang bergejolak menyelimuti pikirannya. Sibiran
kaca dari bingkai foto keluarga yang terjatuh mulai ia bersihkan. Meski,
perasaannya masih diliputi prasangka buruk akan terjadi kepada keluarganya.
Siti lantas meminta pandangan ayah ihwal peristiawa yang baru saja dialaminya.
“Itu hanya prasangkamu saja.” Ayah tidak
menganggap itu hal genting. Ia malah berasumsi anaknya sudah menjadi korban
sinetron di televisi. Itu tersirat karena mata ayah tetap terpusat pada lembaran
koran yang ia baca. Sesekali mulutnya menyeruput kopi pahit panas yang Siti
buat, sebelum peristiwa jatuhnya bingkai foto keluarga yang tergantung di
dinding ruang tamu terjadi. Foto dirinya bersama Ayah, ibu dan Ratna, kakak
Siti.
Setelah menikah Ratna ikut
bersama suaminya yang bekerja di Kalimantan. Sedangkan Siti yang memang
mendapatkan jodoh di daerah sendiri memilih tinggal di Serang, menemani ayah. Ia
tak tega jika harus meninggalkan lelaki gaek itu sendirian setelah kepulangan ibu
ke sisi Tuhan.
Seketika Siti teringat
kakaknya yang kini tinggal di luar pulau itu. Dulu mereka sangat akrab, sering
bercerita tentang segala hal. Perihal nilai jelek yang tertera di kertas ujian,
ihwal murid pindahan yang tampan, atau masakan mereka yang terlalu asin.
“Ayah, Apakah itu bukan satu
pertanda buruk akan terjadi? Aku mengalaminya berturut-turut.” Siti duduk
bersila bersama pikiran yang kalut di emper rumah, menyampingi ayah yang sedang
membaca koran. Awan tersibak dan sinar matahari langsung menerpa dari Timur.
Sejenak tak ada sepotong suara pun yang keluar dari mulut keduanya. Melihat
anaknya yang pasi karena dihinggapi rasa kecemasan ayah kemudian angkat bicara.
“Sudah, lupakan saja! Hilangkan prasangka
buruk di kepalamu. Bingkai itu jatuh, pertama karena kamu jatuhkan saat
membersihkan debu dengan kemoceng, yang tadi itu karena tertiup angin.” Ayah
meyakinkan Siti.
“Tapi?...”
“Kamu percaya saja itu sebagai peristiwa yang
alami! Tadi angin bertiup cukup kencang jadi wajar jika bingkai itu jatuh.”
Sergah ayah, sebelum Siti melanjutkan ucapannya.
“Benarkah ini bukan pertanda buruk akan
terjadi? Aku sangat cemas.”
Ayah kembali tak menggubrisnya. Siti beranjak
dari emper rumah. Ia merasa kecewa firasatnya tidak di hiraukan ayah. Siti
masih menyimpan prasangka-prasangka buruk dalam hatinya. Dua kali
berturut-turut bingkai foto luruh di hadapan Siti dalam waktu beruntun, itu
membuat dirinya diselimuti rasa ketakutan. Terlebih lagi, ini bukan pagi yang
biasa. Saat ini adalah hari yang bersejarah dalam hidup Siti, dimana ia
dipersunting oleh Beno, suami Siti. Ini hari ulang tahun pernikahan Siti yang
kedua. Maka dari itu ia sangat khawatir sekali.
“Semoga tidak akan terjadi apa-apa. Ya Allah,
lindungilah keluargaku!” Harap Siti dalam hati, ketika melangkahkan kaki
menuju dapur.
***
Senja mulai meremang. Suami Siti pulang seusai kerja dengan
keadaan baik-baik saja. Kesibukannya di kantor pun berjalan dengan lancar. Tidak
ada kejadian-kejadian yang dicemaskan Siti terjadi padanya. Lega. Dada Siti
terasa lapang. Mata istri kariawan bank itu justru terbeliak saat Beno pulang
tidak dengan tangan kosong. Beno tidak lupa membawa hadiah berupa cincin emas,
kado untuk istri tercintanya. Serta beberapa buah tangan lainnya; seloyang martabak
dan buah-buahan segar untuk ayah.
Kedua ujung bibir mungil Siti meruncing. Riang.
Pipi Siti serta-merta merona kemerahan. Beno pulang membawa kebahagiaan untuk
Siti, sama sekali tak pernah ia bayangkan. Prasangka buruk yang sedari tadi
pagi menggelayuti pikirannya sirna dan bertukar menjadi perasaan yang gembira, mendapati
kejutan dari suaminya. Siti mengucap syukur kepada Yang Mahakasih karena dianugerahkan
keluarga harmonis.
“Wajahmu semringah. Apa yang diperbuat mantuku
kepada putri tercintaku ini?” Ayah menggoda Siti yang sedang mencuci piring
kotor sehabis makan malam tadi.
Siti menanggapinya dengan selembar senyum.
Tidak ada yang membahagiakan hati seorang wanita selain mendapat hadiah dari
orang yang dicintainya.
“Bagaimana, masih percaya kalau bingkai foto
jatuh itu pertanda tidak baik?”
Siti menggelengkan kepalanya. Rambutnya yang
diikat kuncir kuda bergoyang ke kanan dan ke kiri. Senyum kembali terlukis di
bibir mungilnya. Dadanya dipenuhi rasa senang.
“Teruslah berdoa! agar Allah senantiasa
melindungi keluarga kita. Menjauhkan kita dari semua mara bahaya.”
“Tak terasa sekrang sudah dua tahun, Siti
menjadi istri mas Beno.” Sekali lagi Siti tersenyum.
“Barokallah.”
Siti kembali membersihkan piring-piring kotor
di hadapannya. Membayangkan hal-hal indah yang bakal terjadi di tahun-tahun
mendatang bersama suaminya.
Malam membalut Kota Serang. Kelam begitu
rakus melahap suara, hingga suasana begitu senyap. Siti mengunci pintu rumah, menyelimuti
jendela dengan gorden. Ia kemudian berjalan ke kamar mandi. Beno terlihat sudah
berpiama sedang membaca majalah di atas tempat tidur dengan kacamatanya. Sedangkan
ayah sudah terlelap seusai menunaikan solat isya.
Di kamar mandi Siti berteriak kegirangan saat
keluar. Kegembiraan Siti memuncak setelah ia melihat dua garis merah di test pack yang ada di tangannya. Rupanya
Siti memeriksa kehamilannya setelah sepekan ini telat kedatangan tamu bulanan.
Beno yang mengetahui itu, ikut larut dalam kegembiraan. Sebuah kecupan mesra kemudian
mendarat di kening Siti.
Sebelum tidur Siti kembali teringat dengan
Ratna. Ia ingin berbagi kebahagiaan dengan kakaknya yang sudah lama tidak bersitatap
itu, dengan perasaan teramat bahagia Siti mengirim pesan singakat kepada kakaknya
untuk datang ke Serang, besok. Ratna membalasnya dengan ucapan rasa syukur dan
doa perihal kehamilan adiknya. Serta menyanggupi permintaan Siti untuk
berkunjung ke Serang. Sudah lama juga ia tak pulang ke kampung halamannya. Rindu
dengan ayah dan Siti. Kangen makan ketan bintul, makanan khas Serang yang di
gemari para raja semasa kejayaan kejaraan Banten. Dulu, ketika Ratna dan Siti
masih kecil ibu sering membuatkannya.
Setetes air menitik di sudut mata Siti, air mata
bahagia. Wajar jika Siti menyambutnya dengan suka cita. Ini merupakan hal yang
ditunggu-tunggu selama dua tahun pernikahannya.
Ketika akan menaruh handphone di meja rias
dekat ranjang, tak sengaja tangan Siti menjatuhkan bingkai foto yang dipajang
di atasnya. Bingkai foto yang menghias gambar dirinya dengan Ratna yang sedang
berlenggok di depan area reuntuhan Baluarti. Kaca yang melindungi foto itu
pecah. Sibirannya tercecer berhamburan di atas tegel.
***
Tidak lama lagi Ratna akan datang. Pertemuan
ini akan menjadi pertautan dua jiwa yang penuhi dengan kerinduan. Siti ingin
menjamu kakanya dengan istimwa. Tadi pagi ia sudah pergi ke pasar membeli ketan bintul kesukaan kakaknya. Ia
juga sudah menghidangkannya di meja makan. Apa yang ia sajikan sunguh menggugah
selera. Sebakul kecil nasi putih, pecak bandeng, rabeg, sop, sambal goreng,
lalapan hijau dan tiga piring ketan bintul dengan taburan serundeng. Hmm...
sungguh nikamt!
Siti kemudian mendampingi ayah yang
sedang larut menghadap televisi di atas lincak
bambu di ruang tengah. Sedang asyiknya menikmati acara
musik pandangan Siti ter... sebait running text; Sebuah pesawat
terbang dari bandara ... menuju Soekarno-Hatta terjatuh di laut Jawa. Siti
terhenyak. Matanya tak berkedip. Mulut setengah terbukadengan bibir bergetar, setelah
melihat berita tersebut. Segera ia berusaha mengambil handphonenya, menghubungi
kakaknya. Tak ada sahutan. Handphone Ratna tidak aktif. Wajah Siti terlihat pasi
bercampur panik.
Mata
Siti berkaca-kaca. Isakan datang menyusul. Dan ayah terbatuk, kemudian menarik
napas panjang. Selebihnya hanya ada kelengangan yang mencekam seluruh penghuni
di ruang tengah. Ayah kembali terbatuk. Lelaki paruh baya itu tahu dirinya
adalah rujukan dan narasumber untuk dimintai pendapat. Maka ayah ingin berkata
sesuatu. Namun lidahnya terasa kelu.
Untuk ketiga kalinya ayah terbatuk dan gagal
mengucapkan sesuatu. Bahkan orangtua itu hanya termangu ketika Siti menatapnya,
meminta nasihatnya. Suasana masih hening. Kecuali desah-desah panjang kedua
bapak-beranak.
“Mungkin
masih di pesawat.” Ayah berbaik sangka. “Dugaan hanyalah kekhawatiran. Tidak
selalu pertanda buruk akan terjadi. Teruslah berdoa! agar Allah senantiasa
melindungi keluarga kita.”
Siti kemudian mulai teringat bingkai foto
yang terjatuh untuk ketiga kalinya di kamar menjelang tidur. Bukan hanya tadi
malam melainkan tiga kali berturut-turut kemarin. Pikirannya kembali dirasuki
prasangka buruk. Apakah ini adalah pertanda akan terjadinya sesuatu yang
jelek? Rasa takut kembali hadir di pikiran Siti. Ia sangat yakin peristiwa
kemarin merupakan sebuah tanda, entah baik atau buruk. Namun, kali ini Siti
berusaha berbaik sangka akan takdir Allah. Ia menghapus air mata yang mengalir
di ceruk pipinya.
REPUBLIKA, 31 MEI 2015
keren, Bro! mantap bisa dimuat di Republik. sedikit masukan, di paragraf pembuka, kok, suara hati ada tanda kutipnya? sepengetahuan saya, kalau dalam hati cukup ditulis miring aja. dan saya selalu kesal dengan cerpen "tidak selesai" alias ending terbuka, gimana nasib si Ratna? apa ini ada squel-nya? hehe
BalasHapusTerus berkarya, Bro!
iya, bener tuh. makasih, Bro masukannya.
BalasHapusaneh yah, kok bisa lolos. mungkin Republika kasian sama gue.
sama-sama. Terus berkarya.
Luar biasa...
BalasHapus