Wilujeng Sumping. Terima kasih sudah mampir ke Blog ini. Blog ini hanya untuk belajar menulis. Silahkan berikan komentar jika senang dengan isi Blog ini !

Post Page Advertisement [Top]


Aku Mati Di Pasar 
Cerpen Rudi Rustiadi



Didingkrik, tubuh kering keronta Kurdi masih setia duduk di atasnya. Memakai kaos oblong merah pudar yang lusuh dan kebesaran. Kulit hitamnya dekil berlumurkan keringat bercampur debu. Maklum, matahari tepat di atas kiosnya yang asbes, panas memaksa pori-pori untuk mengeluarkan lebih banyak keringat. Dulu Kurdi petani gagal, penjual bubur ayam juga gagal, tukang ojek tapi gagal juga. Kini ia di pasar.

Kedua bola mata Kurdi sayu melihat sayur dan ikan di hadapannya. Namun, matanya bisa seketika nanar, darahnya mengalir deras ke ubun-ubun, jika melihat bangunan megah berdiri kokoh di sebrang jalan, di depan pasar tempat Kurdi berjualan. Bagian depan, sisi kanan dan kiri bangunan gedung di lapisi kaca-kaca yang membuatnya seperti akuarium besar. Temboknya di lapisi cat krem dengan aksen garis merah, biru dan kuning menyala. Bagunan itu berhasil menarik perhatian mata beberapa ibu-ibu yang ingin belanja ke pasar.

Bukan! Bukan padanan warnanya yang serasi atau megahnya bangunan. Tapi banner besar yang terpampang di muka gedung bagian atas, terlihat gambar minyak goreng, detergen, sabun mandi hingga ikan segar. Gambar-gambar tersebut berhasil memonopoli perhatian ibu-ibu, apalagi ditambah dengan huruf-huruf besar merah menyala bertuliskan “Diskon Hingga 50+20 %”.

 Itu minimarket! Ya, toko modern yang saat ini sudah menjamur hingga pelosok negeri, bahkan di depan pasar tempat Kurdi berjualan. Lokasi yang harusnya steril dari toko semacam itu. Terlebih lagi di bulan puasa dan menjelang lebaran. Minimarket seperti itu berlomba-lomba menurunkan harga, menawarkan berbelanja paket hemat hingga sembako murah. Situasi yang semakin membuat kios Kurdi lebih jarang lagi dikunjungi pembeli.

Dari kiosnya, Kurdi bisa melihat dari balik kaca minimarket pramuniaga tersenyum ketika ada pembeli yang datang, seketika itu juga Kurdi merasa orang itu sedang menertawakan nasibnya. Tak henti-hentinya ia berjibaku dengan pikirannya sendiri setiap kali melihat hal itu. Rasa iri, dengki serta amarah bergejolak.

Ikan Bandeng dan sayur di hadapan Kurdi masih sangat segar. Tidak ada satu orang pun sudi menjamahnya sejak pagi tadi hingga beduk Asar terdengar. Tongkat kecil denga lilitan tali rafia ia putar pelan pelan mengusir lalat yang menghinggapi daganganya ketika seseorang lewat di depannya. Berharap orang itu mau mampir, membeli ikan atau sayurnya.

Seketika Kurdi teringat masa kecilnya, sewaktu menemani bapaknya berdagang ikan dan sayur di pasar. Kiosnya selalalu ramai dikunjungi pembeli, bahkan sebagian sudah menjadi pelanggan tetap. Dagangannya selalu habis tak tersisa. Dengan hasil dagangannya itu bisa memberangkatkannya ke Mekah, menunaikan rukun Islam kelima bersam Aminah, ibu Kurdi. Bayangan indah masa kecil itu lah yang membawa Kurdi ke pasar, setelah beberapa kali bergonta-ganti profesi. Namun kehidupannya hari ini, tidak sesederhana bayangannya ketika masih kecil.

Angan-angan itu hanya menjadi oase. Kehidupannya berbanding terbalik dengan bapaknya. Kesuksesan orangtuanya dulu tak tertular kepadanya. Terkadang Kurdi malu karena mersa tidak becus mengurus seorang istri dan satu anak, padahal dulu bapaknya mampu memberi penghidupan layak bagi kelima anaknya dan seorang istri. Bahkan, menyekolahkan semua anak-anaknya hingga lulus SMA, dengan berjualan di pasar seperti dirinya saat ini. Tapi lihat Kurdi sekang! untuk bisa membeli sergam merah-putih saja terkadang ia harus menghutang beras beberapa hari, karena uang yang semestinya dibelikan beras harus ia belikan segam merah putih untuk Dido. Potret kehidupan jauh berbeda.

Padahal dulu bapaknya sudah memberi resep kepada Kurdi, agar laku berjualan yakni jujur dan ramah. Itu sudah ia lakoni. Namun tetap saja, pembeli di kiosnya sedikit demi sedikit berkurang semenjak ada minimarket di depan pasar.

Seperti hari-hari biasanya, Kurdi selalu pulang ketika azan Asar selesai dikumandangkan. Ikan dan sayur ia kembali bawa ke rumah, untuk disimpan di lemari es supaya tidak busuk dan bau. Kurdi melangkahkan kakinya melewati jalanan becek. Cipratan lumpur hitam yang beraroma tidak sedap menempel di betis dan mata kakinya.

Beberapa pedagang sudah menutup kiosnya. Termasuk kios milik teman Kurdi, yang ia jadikan tempat berkeluh kesah ke beberapa teman seprofesinya, ke penjual buah, penjual beras atau penjual kelontong. Ternyata mereka pun mengalami hal yang serupa. Keadaan itu justru semakin menambah amarah dan rasa dengkinya kepada orang yang membangun minimarket atau memberi izin mendirikannya di dekat pasar. Padahal, jelas-jelas ada larangannya. Tepatnya di bagian depan pasar. Masih kokoh berdiri plang besi bertuliskan “Pasal 4 ayat (1) Perpres 112/2007” berisi tentang larangan mendirikan minimarket dekat pasar tradisonal. Meski plang itu sudah berkarat dimakan usia namun tulisannya masih bisa terlihat dengan jelas. Sempat terlintas dalam pikiran Kurdi untuk memindahkan plang besi itu dan menancapkanya tepat di depan minimarket. Agar mereka bisa membacanya dan segera menjauh dari pasar.

Tidak jauh dari pangkalan ojek, ternyata masih ada kios kelontong yang menjajakan dagangannya. Dengan luas kios lima kali tiga meter, rasanya kios tersebut terlalu penuh. Barang-barang dagangan bertumpuk. Berkarung-karung beras ada di pojok kios. Seakan tak mau kalah, dirigen-dirigen yang berisi minyak goreng curah juga menumpuk di dekat situ. Di langit-langit toko, tersampir berbagai bumbu masak, kopi, shampoo dan bahkan pembalut.

Di dalam kios yang sempit itu, Sanusi sang pemilik kios terlihat sedang merapikan kiosnya seorang diri. Dengan mengenakan singlet putih bolong-bolongnya, ia menyusun barang-barang dagangannya satu per satu, menata dan memilah sesuai jenisnya. Telaten dan teliti, meski barang-barang tersebut tidak akan bisa rapi layaknya barang dagangan di minimarket yang jaraknya hanya 10 meter dari kiosnya.

“Kurdi, bagaimana daganganmu hari ini?”

“Semakin mengenaskan saja, Kang!”

“Toko itu seharusnya tidak ada di sini!” Sanusi menunjuk minimarket di depan kiosnya.

“Sekarang toko itu, mungkin besok mall yang akan dibangun di sini,” Kurdi berkelakar.

“hahaha... Semakin susah saja hidup kita, Kur,”

***

Seorang perempuan berkerudung putih muncul dari balik pintu, menyambut Kurdi. Kemudian langsung mencium tangannya. Senyum kecil terlukis di bibir mungilnya. Sejenak memberi keteduhan di hati Kurdi, sebelum rasa malu dan sesal harus ia tanggung, karena pulang dengan tangan hampa. Rasa itu jadi bertambah, jika mengingat Kurdi bukan menikahi perempuan biasa, yang ia persunting adalah Marni, anak seorang saudagar bebek yang kaya raya. Sejak kecil terbiasa hidup berkecukupan. Namun, demi hidup bersama orang yang dicintainya ia rela meninggalkan semua itu, dan memilih hidup bersama kurdi dengan segala keterbatasan.

Marni menatap plastik merah besar yang di jinjing suaminya. Mata Kurdi refleks ikut melakukannya.

“Hari ini pembeli sepi lagi,”

“Tidak apa-apa, yang penting siapkan saja sedikit uang! Untuk jajan Dido di sekolah.” Keduanya menatap sebuah foto yang tergantung di dinding, gambar mereka barsama Dido sedang tersenyum di depan halaman rumah.

Beruntung Kurdi memiliki Marni, istri yang solehah. Jika tidak mungkin ia sudah gila menghadapi realitas hidup. Meski hidup berkecukupan sejak kecil tapi Marni sangat memahami kondisi suaminya, ia tidak pernah menuntut apapun.

Kurdi termenung, meratapi nasibnya. Pasar yang seharusnya memberi penghidupan kepada orang sepertinya malah menjadi kuburan untuknya, setelah orang berduit membangun minimarket dekat pasar. “Mereka sepertinya mau membunuhku pelan-pelan,” keluhnya dalam hati. “Mereka ingin aku mati di pasar!”



 Pasar Baros, 05 Ramadhan 1435
Radar Banten, 14 September 2014






Ini dia buktinya. Hehehe... Radar Banten, 14 September 2014









8 komentar:

  1. salam hangat dari kami ijin informasinya dari kami pengrajin jaket kulit

    BalasHapus
  2. Keren, pesan dan maksud.y sampai. Metafora pada judul.y memikat. Hanya saja, ada beberapa typo yg bikin kurang nyaman saat membacanya. Teruslah berkarya!

    BalasHapus
  3. Terimakasih. Anonim siapa yah? #jadipenasaran

    BalasHapus
  4. keren banget. jadi gimana ya caranya bisa bikin cerpen atau tulisan yang kita kirim ke koran bisa di terbitkan?
    syarat dan ketentuannya apa ya?

    BalasHapus
  5. keren banget. jadi gimana ya caranya bisa bikin cerpen atau tulisan yang kita kirim ke koran bisa di terbitkan?
    syarat dan ketentuannya apa ya?

    BalasHapus
  6. Fitri, pelajari aja cerpen-cerpen di koran yang mau kamu kirim cerpenmu. nanti kamu tahu karakternya. lalu bikin deh seperti itu

    BalasHapus
  7. Ini salah satu cerpen pavorit saya, dalem banget, masuk ke hati.

    BalasHapus
  8. terimakasih, Bos Wengky

    salam semanagat. terus berkarya!

    BalasHapus

Terima kasih untuk komentarnya

Bottom Ad [Post Page]