Aku Mati
Di Pasar
Cerpen Rudi Rustiadi
Didingkrik, tubuh
kering keronta Kurdi masih setia duduk di atasnya. Memakai kaos oblong merah
pudar yang lusuh dan kebesaran. Kulit hitamnya dekil berlumurkan
keringat bercampur debu. Maklum, matahari tepat di atas kiosnya yang asbes, panas
memaksa pori-pori untuk mengeluarkan lebih banyak keringat. Dulu Kurdi petani
gagal, penjual bubur ayam juga gagal, tukang ojek tapi gagal juga. Kini ia di
pasar.
Kedua bola mata
Kurdi sayu melihat sayur dan ikan di hadapannya. Namun, matanya bisa seketika nanar,
darahnya mengalir deras ke ubun-ubun, jika melihat bangunan megah berdiri kokoh di
sebrang jalan, di depan pasar tempat Kurdi berjualan. Bagian depan, sisi kanan dan kiri
bangunan gedung di lapisi kaca-kaca yang membuatnya seperti akuarium besar.
Temboknya di lapisi cat krem dengan aksen garis merah, biru dan kuning menyala.
Bagunan itu berhasil menarik perhatian mata beberapa ibu-ibu yang ingin belanja
ke pasar.
Bukan! Bukan padanan warnanya yang serasi atau
megahnya bangunan. Tapi banner besar
yang terpampang di muka gedung bagian atas, terlihat gambar minyak goreng,
detergen, sabun mandi hingga ikan segar. Gambar-gambar tersebut berhasil
memonopoli perhatian ibu-ibu, apalagi ditambah dengan huruf-huruf besar merah
menyala bertuliskan “Diskon Hingga 50+20 %”.
Itu minimarket!
Ya, toko modern yang saat ini sudah menjamur hingga pelosok negeri, bahkan
di depan pasar tempat Kurdi berjualan. Lokasi yang harusnya steril dari toko
semacam itu. Terlebih lagi di
bulan puasa dan menjelang lebaran. Minimarket seperti itu berlomba-lomba
menurunkan harga, menawarkan berbelanja paket hemat hingga sembako murah.
Situasi yang semakin membuat kios Kurdi lebih jarang lagi dikunjungi pembeli.
Dari kiosnya, Kurdi
bisa melihat dari balik kaca minimarket pramuniaga tersenyum ketika ada pembeli
yang datang, seketika itu juga Kurdi merasa orang itu sedang menertawakan
nasibnya. Tak henti-hentinya ia berjibaku dengan pikirannya sendiri setiap kali
melihat hal itu. Rasa iri, dengki serta amarah bergejolak.
Ikan Bandeng dan
sayur di hadapan Kurdi masih sangat segar. Tidak ada satu orang pun sudi
menjamahnya sejak pagi tadi hingga beduk Asar terdengar. Tongkat kecil denga
lilitan tali rafia ia putar pelan pelan mengusir lalat yang menghinggapi
daganganya ketika seseorang lewat di depannya. Berharap orang itu mau mampir,
membeli ikan atau sayurnya.
Seketika Kurdi
teringat masa kecilnya, sewaktu menemani bapaknya berdagang ikan dan sayur di
pasar. Kiosnya selalalu ramai dikunjungi pembeli, bahkan sebagian sudah menjadi
pelanggan tetap. Dagangannya selalu habis tak tersisa. Dengan hasil dagangannya
itu bisa memberangkatkannya ke Mekah, menunaikan rukun Islam kelima bersam
Aminah, ibu Kurdi. Bayangan indah masa kecil itu lah yang membawa Kurdi ke
pasar, setelah beberapa kali bergonta-ganti profesi. Namun kehidupannya hari
ini, tidak sesederhana bayangannya ketika masih kecil.
Angan-angan itu
hanya menjadi oase. Kehidupannya berbanding terbalik dengan bapaknya. Kesuksesan
orangtuanya dulu tak tertular kepadanya. Terkadang Kurdi malu karena mersa tidak
becus mengurus seorang istri dan satu anak, padahal dulu bapaknya mampu memberi
penghidupan layak bagi kelima anaknya dan seorang istri. Bahkan, menyekolahkan
semua anak-anaknya hingga lulus SMA, dengan berjualan di pasar seperti dirinya
saat ini. Tapi lihat Kurdi sekang! untuk bisa membeli sergam merah-putih saja
terkadang ia harus menghutang beras beberapa hari, karena uang yang semestinya
dibelikan beras harus ia belikan segam merah putih untuk Dido. Potret kehidupan
jauh berbeda.
Padahal dulu
bapaknya sudah memberi resep kepada Kurdi, agar laku berjualan yakni jujur dan
ramah. Itu sudah ia lakoni. Namun tetap saja, pembeli di kiosnya sedikit demi
sedikit berkurang semenjak ada minimarket di depan pasar.
Seperti
hari-hari biasanya, Kurdi selalu pulang ketika azan Asar selesai
dikumandangkan. Ikan dan sayur ia kembali bawa ke rumah, untuk disimpan di
lemari es supaya tidak busuk dan bau. Kurdi melangkahkan kakinya melewati
jalanan becek. Cipratan lumpur hitam yang beraroma tidak sedap menempel di
betis dan mata kakinya.
Beberapa
pedagang sudah menutup kiosnya. Termasuk kios milik teman Kurdi, yang ia
jadikan tempat berkeluh kesah ke beberapa teman seprofesinya, ke penjual buah,
penjual beras atau penjual kelontong. Ternyata mereka pun mengalami hal yang
serupa. Keadaan itu justru semakin menambah amarah dan rasa dengkinya kepada
orang yang membangun minimarket atau memberi izin mendirikannya di dekat pasar.
Padahal, jelas-jelas ada larangannya. Tepatnya di bagian depan pasar. Masih
kokoh berdiri plang besi bertuliskan “Pasal
4 ayat (1) Perpres 112/2007” berisi tentang larangan mendirikan
minimarket dekat pasar tradisonal. Meski plang itu sudah berkarat dimakan usia
namun tulisannya masih bisa terlihat dengan jelas. Sempat terlintas dalam
pikiran Kurdi untuk memindahkan plang besi itu dan menancapkanya tepat di depan
minimarket. Agar mereka bisa membacanya dan segera menjauh dari pasar.
Tidak jauh dari
pangkalan ojek, ternyata masih ada kios kelontong yang menjajakan dagangannya.
Dengan luas kios lima kali tiga meter, rasanya kios tersebut terlalu penuh.
Barang-barang dagangan bertumpuk. Berkarung-karung beras ada di pojok kios.
Seakan tak mau kalah, dirigen-dirigen yang berisi minyak goreng curah juga
menumpuk di dekat situ. Di langit-langit toko, tersampir berbagai bumbu masak,
kopi, shampoo dan bahkan pembalut.
Di dalam kios
yang sempit itu, Sanusi sang pemilik kios terlihat sedang merapikan kiosnya
seorang diri. Dengan mengenakan singlet putih
bolong-bolongnya, ia menyusun barang-barang dagangannya satu per satu, menata
dan memilah sesuai jenisnya. Telaten dan teliti, meski barang-barang tersebut
tidak akan bisa rapi layaknya barang dagangan di minimarket yang jaraknya hanya
10 meter dari kiosnya.
“Kurdi,
bagaimana daganganmu hari ini?”
“Semakin
mengenaskan saja, Kang!”
“Toko itu
seharusnya tidak ada di sini!” Sanusi menunjuk minimarket di depan kiosnya.
“Sekarang toko
itu, mungkin besok mall yang akan
dibangun di sini,” Kurdi berkelakar.
“hahaha...
Semakin susah saja hidup kita, Kur,”
***
Seorang perempuan berkerudung putih muncul dari
balik pintu, menyambut Kurdi. Kemudian langsung mencium tangannya. Senyum kecil
terlukis di bibir mungilnya. Sejenak memberi keteduhan di hati Kurdi, sebelum rasa
malu dan sesal harus ia tanggung, karena pulang dengan tangan hampa. Rasa itu jadi
bertambah, jika mengingat Kurdi bukan menikahi perempuan biasa, yang ia
persunting adalah Marni, anak seorang saudagar bebek yang kaya raya. Sejak kecil
terbiasa hidup berkecukupan. Namun, demi hidup bersama orang yang dicintainya
ia rela meninggalkan semua itu, dan memilih hidup bersama kurdi dengan segala
keterbatasan.
Marni menatap
plastik merah besar yang di jinjing suaminya. Mata Kurdi refleks ikut
melakukannya.
“Hari ini pembeli
sepi lagi,”
“Tidak apa-apa,
yang penting siapkan saja sedikit uang! Untuk jajan Dido di sekolah.” Keduanya
menatap sebuah foto yang tergantung di dinding, gambar mereka barsama Dido
sedang tersenyum di depan halaman rumah.
Beruntung Kurdi
memiliki Marni, istri yang solehah. Jika tidak mungkin ia sudah gila menghadapi
realitas hidup. Meski hidup berkecukupan sejak kecil tapi Marni sangat memahami
kondisi suaminya, ia tidak pernah menuntut apapun.
Kurdi termenung,
meratapi nasibnya. Pasar yang seharusnya memberi penghidupan kepada orang
sepertinya malah menjadi kuburan untuknya, setelah orang berduit membangun
minimarket dekat pasar. “Mereka sepertinya mau membunuhku pelan-pelan,”
keluhnya dalam hati. “Mereka ingin aku mati di pasar!”
Pasar Baros, 05 Ramadhan 1435
Radar Banten, 14 September 2014
Ini dia buktinya. Hehehe... Radar Banten, 14 September 2014 |
salam hangat dari kami ijin informasinya dari kami pengrajin jaket kulit
BalasHapusKeren, pesan dan maksud.y sampai. Metafora pada judul.y memikat. Hanya saja, ada beberapa typo yg bikin kurang nyaman saat membacanya. Teruslah berkarya!
BalasHapusTerimakasih. Anonim siapa yah? #jadipenasaran
BalasHapuskeren banget. jadi gimana ya caranya bisa bikin cerpen atau tulisan yang kita kirim ke koran bisa di terbitkan?
BalasHapussyarat dan ketentuannya apa ya?
keren banget. jadi gimana ya caranya bisa bikin cerpen atau tulisan yang kita kirim ke koran bisa di terbitkan?
BalasHapussyarat dan ketentuannya apa ya?
Fitri, pelajari aja cerpen-cerpen di koran yang mau kamu kirim cerpenmu. nanti kamu tahu karakternya. lalu bikin deh seperti itu
BalasHapusIni salah satu cerpen pavorit saya, dalem banget, masuk ke hati.
BalasHapusterimakasih, Bos Wengky
BalasHapussalam semanagat. terus berkarya!