Wilujeng Sumping. Terima kasih sudah mampir ke Blog ini. Blog ini hanya untuk belajar menulis. Silahkan berikan komentar jika senang dengan isi Blog ini !

Post Page Advertisement [Top]

#PasukanMatahari



Dua bulan lalu, tepatnya di tanggal 9 oktober hingga 25 november saya menjadi anggota Tur Litersi Jalan Raya Pos Daendels, kegiatan ini merupakan kegiatan sosial yang digagas Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Rumah Dunia yang di kelola Gol A Gong, bertujuan untuk menyebarkan virus membaca dan menulis di TBM, Sekolah, Komunitas, Kampus, Instansi Pemerintahan dll. Ketika di perjalanan tepatnya Kota Solo, 25 Oktober 2014, satu karya Gol A Gong lahir, #PasukanMatahari yang diterbitkan Indiva Media Kreasi. Semua anggota tim Tur Literasi diberi 1 buku oleh Gol A Gong. Kemudian Kami diberi tugas untuk membaca dan meresensinya. Dalam perjalanan ke Bromo, Malang, Blitar hingga kembali ke Serang lagi saya belum selesai membacanya, karena kesibukan selama perjalanan. Hingga akhirnya minggu lalu saya selesai membaca dan meresensinya. Kemudian saya kirim ke Koran Madura, Allhamdulillah jumat 12 Desember 2014 diterbitkan.

Ketika membaca dan meresensi novel ini saya mendapatkan keanehan dalam novel ini. Novel #PasukanMatahari ini berbeda sekali denga novel-novel karya Gol A Gong yang pernah saya baca seperti; Balada Si Roy, Langit Merah Saga, Ambasador, Ketika Bumi Menangis, Pusaran Arus Waktu dan lain-lain. Keanehan itu terletak pada pemilihan diksi dan kalimat. Seperti apa keanehan diksi dan kalimat pada novel #PasukanMatahari itu? Sebaiknya kalian membeli novelnya dan membacanya sendiri saja! Oke! Baca terus resensi! Upload ke blog atau kirim ke media massa seperti yang saya lakukan!

Ini resensi saya di Koran Madura, 12 Desember 2014!
Bisa juga dilihat di http://issuu.com/koranmadura/docs/mad_121214_full

Add caption
 Berkampanye Dengan Prosa



Manusia diciptakan dengan bentuk dan kondisi fisik yang berbeda-beda. Namun, disisi lain Tuhan juga menciptakan manusia dengan potensi yang sama, sehingga menjadikan derajat manusia menjadi sejajar tanpa perbedaan.

Realistis saja, Don! Dengan kondisi tanganmu yang buntung, mestinya kamu bersyukur perusahaan tidak melakukan diskriminasi terhadapmu....” (Pasukan Matahari, h.14). Dalam petikan dialog tadi jelas tergambar bahwa seseoarng masih memandang dengan perbedaan, sehingga menimbulkan pertikayan. Konflik ini terjadi ketika Doni, tokoh utama dalam novel Pasukan Matahari, yang mengajukan cuti namun dilarang oleh Anton, Redpel media massa dimana Doni bekerja. Dalam hal ini, perbedaan dijadikan alasan seseorang untuk memandang remeh orang lain, padahal perbedaan bisa menjadi alasan untuk menghargai orang lain.

Saat itu Doni dihadapkan pada keputusan sulit dan dilematis, karena dia sudah berjanji untuk bertemu dengan Pasukan Matahri, tiga teman senasib dan sepenanggungan, ketika tangan kiri Doni harus diamputasi pada usia 11 tahun. Yayat, Ujaer dan Herman. Yayat kaki kanannya buntung di bawah lutut, Ujer hanya memiliki tangan kiri dan Herman kehilangan lima jari tangan kirinya karena bermain petasan.

Tapi, akhirnya setelah mempertimbangkan antara pekerjaan dan janjinya bersama istrinya, Partiwi. Akhirnya Doni memutuskan untuk mengundurkan diri dari tempatnya bekerja dan menulis novel saja di rumah. Keputusan sulit itu diambil demi bereuni di anak Gunung Krakatau. Dengan mambawa kisah perjuangan mewujudkan cita-cita dan kesuksesan mereka masing-masing. Janji yang sudah ia ikrarkan ketika duduk di bangku sekolah dasar dulu bersama teman-temannya, Pasukan Matahari dan Pasukan Semut, tujuh teman Doni lainnya yang bertubuh normal.

Selain berkampanye untuk lebih menghargai perbedaan, tema besar lain yang ditulis Gong adalah membaca. Tanpa sadar pembaca disodorkan tokoh-tokoh yang rajin datang ke perpustakaan atau Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Kampanye membaca disisipkan secara implisit oleh Gong dengan cerkas pada bagian saat Doni kembali dari RSUD Serang, setelah diamputasi. Doni rajin ke TBM untuk membaca. Ayahnya pun sering membelikannya buku, sehingga Doni tumbuh dengan percaya diri, menjadi atlet cacat yang berwawasan juga mempunyai kepiawaian menulis.

Gue, lagi mau baca Pasukan Matahari
Jika ditelaah lebih jauh, dalam novelnya kali ini Gong menggunakan bahasa sehari-hari yang mudah untuk difahami oleh anak-anak. Bahasa yang ringan namun tetap sanggup menghantarkan makna yang dalam. Jika dilihat dari pemilihan bahasa dan diksi, Gong mendedikasikan novel ini untuk anak-anak namun tetap menarik dibaca oleh anak remaja, dewasa maupun orangtua, karena membumbuinya dengan cinta segitiga antara Doni, Pratiwi dan Nani.

Kelebihan dan pesan moral. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, novel ini berhasil membuat kampanye membaca lebih mudah dicerna  dan menyenagkan, tidak lagi dengan orasi atau seminar yang membosankakn, hal ini menjadi keunggulan tersendiri. Isu lainnya adalah aroma lokalitas Banten yang kental terasa dalam novel ini. Seluk-beluk Banten tergambar dengan detail. Ber-setting di Banten bagian selatan seperti Menes dan Pandeglan. Gong juga tidak lupa menyisipkan makanan dan permainan tradisional Banten seperti es bon-bon, bambu locok, gobak sodor dll. Dalam bagian ini Sepertinya Gong berupaya mengubah citra negatif Banten yang selalu dikaitkan dengan hal-hal mistis, santet, jawara dll. Sebab lain yang mempertegas Banten dalam novel ini adalah petikan dialog yang powerful antara Doni dan Yusuf ketika bercita-cita menghidupkan kembali Rumah Baca Pelangi. Anak-anak kampung harus diberdayakan! Inilah saatnya otak, bukan otot. Banten harus dilepaskan dari budaya otot!” (H. 349). 

*Rudi Rustiadi, tim Tur Literasi Jawa 2014. Belajar menulis di Rumah Dunia. Tinggal di http://rudirustiadi.blogspot.com



 

2 komentar:

Terima kasih untuk komentarnya

Bottom Ad [Post Page]